Jika hal tersebut dapat terwujud maka Indonesia akan menjadi negara pertama yang mengajukan TSS di Alur Laut Kepulauan, sehingga tentunya akan mendapatkan perhatian dari seluruh negara anggota IMO
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mengajukan bagan pemisahan alur laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok agar dapat diterima oleh negara-negara anggota Organisasi Maritim Internasional (IMO) pada Sidang IMO Sub Committee Navigation, Communication Search and Rescue (NCSR) ke-6, di Markas Besar IMO, di London.
Direktur Kenavigasian Kementerian Perhubungan, Basar Antonius, sebagai ketua delegasi Indonesia dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Kamis mengatakan, pengajuan itu sangat penting karena berkaitan erat dengan terwujudnya keselamatan pelayaran di alur laut untuk lalu lintas pelayaran Internasional khususnya yang melewati Selat Sunda dan Selat Lombok.
Untuk itu, pada Sidang NCSR ke 6 ini, Indonesia menggalang dukungan dari seluruh negara anggota IMO terkait dengan penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok.
"Jika hal tersebut dapat terwujud maka Indonesia akan menjadi negara pertama yang mengajukan TSS di Alur Laut Kepulauan, sehingga tentunya akan mendapatkan perhatian dari seluruh negara anggota IMO," kata Basar.
Adapun usulan pengajuan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok tersebut sudah melalui beberapa proses dan telah diajukan ke IMO dalam bentuk Information Paper pada sidang IMO Sub-Komite NCSR ke-5 di London pada Februari 2018. Sedangkan Proposal TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok telah diterima Sekretariat IMO pada 16 Oktober 2018.
Penetapan TSS di selat Sunda dan Selat Lombok, menurut Basar, diperlukan untuk menjamin keselamatan pelayaran di selat yang menjadi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan cukup ramai lalu-lintasnya itu.
Untuk itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan telah melaksanakan beberapa langkah persiapan untuk menetapkan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok seperti telah dilaksanakan studi penetapan TSS Selat Sunda dan Selat Lombok pada Tahun Anggaran 2017.
"Pelaksanaan studi dilaksanakan dengan melibatkan unsur praktisi dan akademisi dari konsultan dengan melibatkan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya," jelas Basar.
Selanjutnya, studi juga mencakup kajian terkait dengan ketentuan internasional dan nasional, antara lain United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), International Convention for the Safety of Life at Sea 1974 (SOLAS 1974), the International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972 (COLREGs 1972), IMO Ships Routeing, IMO Guidelines and Resolutions terkait serta submisi-submisi terkait TSS yang pernah diajukan negara-negara IMO.
"Dalam melaksanakan kajian dan penyusunan draft proposal mengenai TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut juga telah melaksanakan beberapa Focus Group Discussion dengan mengundang narasumber/ahli dan peserta dari Kementerian/Lembaga terkait," katanya.
Kementerian/Lembaga yang terlibat, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Mabes TNI AL, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Universitas Padjadjaran, ITS, INSA, serta stakeholders lainnya termasuk melaksanakan diskusi/komunikasi secara informal dengan beberapa user States utama, yaknj Jepang, Australia dan Singapura) dan pemangku kepentingan terkait (Bimco, Intertanko, dan Japan Shipping Association dan Malacca Strait Council), untuk mendapatkan masukan komprehensif.
"Diskusi juga dilaksanakan dengan IMO experts untuk menyusun draft akhir proposal penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok," ujar Basar.
Adapun setelah penetapan TSS Selat Sunda dan Selat Lombok, pemerintah Indonesia masih memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain memenuhi sarana-prasarana penunjang keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan, meliputi Vessel Traffic System (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), serta peta elektronik yang mutakhir dan menjamin operasional dari perangkat-perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam tujuh hari.
Pemerintah Indonesia juga wajib mempersiapkan regulasi, baik lokal maupun nasional terkait dengan operasional maupun urusan teknis dalam rangka menunjang keselamatan pelayaran di TSS yang telah ditetapkan, serta melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan para instansi dan stakeholder terkait dengan penetapan TSS itu.
"Keputusan apakah pengajuan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok dapat diterima IMO, hasilnya dapat dilihat pada hari terakhir sidang NCSR ke-6 ini," ujarnya.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut, Basar Antonius dengan anggota delegasi berasal dari Kemenkomaritim, Kementerian Perhubungan, Mabes AL, Pushidros AL, perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia di London, Atase Perhubungan RI di London dan akademisi ITS.
Pewarta: Juwita Rahayu
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019