Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 42 anggota DPR dari berbagai komisi dan lintas fraksi mengajukan hak interpelasi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada pimpinan DPR dan pengajuan hak ini akan ditindaklanjuti ke Rapat Pimpinan (Rapim) DPR. Sejumlah penggagas interpelasi BLBI menyampaikan berkas hak interpelasi kepada Ketua DPR Agung Laksono di Gedung Nusdantara III DPR/MPR/DPD, Senayan, Jakarta, Kamis. Juru bicara penggagas interpelasi BLBI adalah Andi Rahmat dari Fraksi PKS, didampingi Ade Daud Nasution (PBR) dan Marwoto (PAN). Dalam berkas hak interpelasi dijelaskan bahwa BLBI merupakan skema bantuan pinjaman yang diberikan BI kepada bank yang mengalami masalah likuiditas saat terjadi krisis tahun 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian pemerintah Indonesia dan IMF dalam mengatasi masalah krisis. BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp144,5 triliun kepada 48 bank pada Desember 1998. Hasil audit investigasi BPK terhadap penyaluran bantuan likuiditas tersebut menemukan penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp138,4 triliun atau 95,78 persen dari total BLBI yang telah disalurkan hingga 29 Januari 1999. Sedangkan jumlah seluruhnya BLBI sebesar Rp650 triliun. DPR menganggap terjadi penjarahan uang negara melalui skema BLBI itu. Bahkan rakyat harus menanggung bunga obligasi rekap sebesar Rp60 triliun/tahun hingga tahun 2033. "Bunga obligasi itu harus dibayar rakyat setiap tahunnya hingga tahun 2033. Padahal rakyat tidak tahu apa-apa," kata Ade Daud Nasution. Dia menyatakan kewajiban membayar bunga obligasi rekap sebesar itu sangat membebani APBN. Padahal dengan Rp60 triliun, semestinya sudah bisa digunakan untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Penjarahan uang negara itu dilakukan melalui mark up, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) oleh 'konglomerat hitam'. Tindakan ini sebagai kejahatan perbankan. Yang semakin mengindikasikan adanya kejahatan adalah BLBI itu disimpan, lalu dibiarkan aset jaminannya disita, padahal nilai aset yang dijaminkan tidak sebanding dengan BLBI yang diterima. Ketika aset-aset itu dilelang oleh pemerintah dengan harga sangat murah, maka dana BLBI itu digunakan untuk membeli aset-aset yang dijaminkan dengan harga sangat murah. "Kita melihat secara jelas bagaimana aset yang dijaminkan itu kemudian dijual sangat murah oleh pemerintah, lalu mereka beli lagi," katanya. Ketua DPR menyambut baik penggunaan hak interpelasi kasus BLBI. "Kewajiban membayar bunga obligasi rekap sebesar Rp60 triliun sangat membebani APBN," kata Agung, seraya menambahkan akan menindaklanjuti usul hak interpelasi ini dalam Rapat Pimpinan DPR.
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007