Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berupaya menghapus adanya sekolah favorit dengan menerapkan sistem zonasi agar masyarakat tidak lagi sibuk ingin memasukkan anaknya ke sekolah favorit.
"Masyarakat masih memiliki stigma sekolah favorit, meskipun kami berusaha untuk menghapus adanya sekolah favorit dengan sistem zonasi," ujar Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang dalam taklimat media di Jakarta, Selasa.
Masyarakat berupaya memasukkan anak ke sekolah favorit dengan berbagai cara, ujarnya, misalnya dengan pindah ke lokasi yang dekat dengan sekolah sebelum anaknya tamat. Selain itu juga dengan menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) agar bisa masuk sekolah yang diinginkan.
Oleh karena itu, dalam Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2019 diatur bahwa domisili berdasarkan alamat Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan minimal satu tahun sebelumnya, KK dapat diganti dengan Suket domisili dari RT/RW (kecuali untuk TA 2019/2020 dapat berlaku minimal enam bulan).
"Diutamakan siswa yang alamatnya sesuai dengan sekolah asalnya. Jadi kita kunci di situ," tambah dia.
Sekolah juga diminta memprioritaskan peserta didik yang memiliki KK atau Suket domisili dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama dengan sekolah asal.
Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2019 mengatur mengenai PPDB 2019, yang mana penerimaan siswa baru dilaksanakan melalui tiga jalur yaitu zonasi dengan kuota minimal 90 persen, prestasi dengan kuota maksimal lima persen dan jalur perpindahan orang tua dengan kuota maksimal lima persen.
Untuk kuota zonasi 90 persen termasuk Peserta Didik tidak mampu dan penyandang disabilitas pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif.
"Kami mengharapkan tiga hingga lima tahun ke depan akan buyar tuh stigma sekolah favorit," kata dia.
Sekarang stigma sekolah favorit itu, lanjut dia, masih melekat di benak masyarakat. Perlahan pihaknya berupaya untuk menghilangkan stigma yang masih melekat itu. Upaya yang dilakukan adalah "mengunci" agar tidak terjadi upaya penyimpangan.
"Untuk masuk ke universitas juga tidak dilihat nilai UN. Jadi kalau anak-anak keinginannya untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pastinya mereka akan belajar sungguh-sungguh. Jadi bukan sekolah yang menentukan," tambah dia lagi.
Baca juga: Mendikbud soroti praktik jual beli "kursi" di sekolah favorit
Baca juga: Hapus Istilah Sekolah Favorit
Pewarta: Indriani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019