Jakarta (ANTARA News) - Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyebut mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi meminta percepatan pengiriman berkas Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (PT AAL).
"Waktu itu saya ditelepon Pak Nurhadi, ditanya, Ed, perkara nomor ini sudah dikirim? Itu yang perkara PT AAL tapi sekarang saya sudah lupa nomernya," kata Edy Nasution di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Edy bersaksi untuk terdakwa bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro yang didakwa memberikan uang sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS kepada kepada Edy Nasution agar melakukan penundaan proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Lippo Group membawahi beberapa anak perusahaan di antaranya PT Jakarta Baru Cosmoplitan (JBC), Paramount Enterprise Internasional, PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan PT Across Asia Limited (AAL).
"Lalu saya jawab, 'Siap Pak. saya cek dulu," ungkap Edy.
Menurut Edy, memang sebagai Sekretaris MA saat itu Nurhadi punya kewenangan untuk mengawasi perkara-perkara di pengadilan.
"Memang tidak langsung menangani tapi memonitor perkara-perkara yang tidak dikirimkan, kami pernah dikumpulkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, saat itu disampaikan sekretaris (MA) memonitor perkara-perkara mana yang lama," tambah Edy.
Atas jawaban tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) KPK Abdul Basir menanyakan apakah ada perkara lain yang ditegur oleh Nurhadi.
"Baru pertama ini, kalau perkara lain mungkin ada ditanyakan tapi mungkin lewat stafnya," ungkap Edy.
Dalam dakwaan disebutkan pada 30 Maret 2016, PK perkara PT AAL dikirim ke Mahkamah Agung dimana sebelum perkara dikirimkan, Edy Nasution dihubungi Nurhadi selaku Sekretaris MA yang meminta agar berkas perkara niaga PT AAL segera dikirim ke MA.
Selain Edy Nasution, JPU KPK juga menghadirkan mantan pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno sebagai saksi kasus tersebut.
Edy maupun Doddy telah divonis Pengadilan Tipikor sudah divonis dalam kasus yang sama.
JPU KPK juga bertanya soal pembicaraan antara Doddy dengan Direktur PT Lippo General Insurance Tbk Suhendra Atmadja mengenai pemberian sesuatu dari Eddy Sindoro kepada seseorang bernama Pak Wu.
"Apa maksud komunikasi saudara dengan Suhendra Atmadja ketika saudara mengatakan mau menyampaikan pesan dari Pak Wu yang menanyakan kapasi sisa barangnya dari Pak Eddy Sindoro dikirim lagi," tanya jaksa Basir.
Namun Doddy membantah mengatakan hal tersebut.
Jaksa Basir kemudian membacakan BAP Doddy yang dimaksud "Pak Wu" adalah Nurhadi alias N termasuk "entertainment" enam personil Brimob yang jaga rumah mantan Sekretaris MA ini.
"Saya minta Pak Suhendra minta dikonfirmasi keesokan harinya, dan saya keesokan harinya tanya ke Pak Suhendra apa ada barang yang akan dikirim ke Pak Wu tapi Pak Suhendra tidak menjawab," kata jaksa Basir.
Namun Doddy mengaku tidak mengingatnya termasuk tidak ingat jabatan Eddy Sindoro.
"Saya sudah stroke dua kali Pak, yang saya tahu hanya bekas atasan saya saja," jawab Doddy.
Jaksa Basir kembali mengejar pertanyaan dengan menyebut pihaknya ada rekaman BBM yang menyebut ES, ditunggu Wu dan Wu nanyain terus juga minta tolong untuk pegang Majalah Tempo dan dan media lain.
"Ini rekamannya ada?" tanya jaksa.
Kembali Doddy mengaku tidak tahu Wu serta ES itu adalah Eddy Sindonro.
Jaksa juga menanyakan waktu percakapan Wu dari Lucas yang menyebut "thank you" pada Maret 2016 dan kembali Doddy mengatakan tidak mengetahui Lucas.
Doddy Ariyanto Supeno sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan dan Edy Nasution divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan pada 2016 lalu.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019