Pasalnya ada sebagian orang ketiga yang punya maksud lain di balik perilaku perselingkuhannya yakni untuk mendapatkan materi.
"Ini berbeda sekali dengan kehadiran orang ketiga karena hati. Sebagai konsultan, saya bisa dengan mudah menebak, kehadiran orang ketiga yang didasarkan pada hati, sejatinya cermin bahwa kehidupan berumah-tangganya ada masalah. Sedangkan kehadiran orang ketiga dengan motif kriminal, solusinya hanya satu yakni laporkan ke polisi. Itu tidak sulit sama sekali karena ada deliknya," ujar Tika melalui siaran pers, Jakarta, Minggu.
Tika menilai upaya untuk menjerat laki-laki beristri agar tertarik pada pelaku, lalu dijadikan sebagai korban pemerasan dan memanfaatkan posisinya sebagai orang ketiga adalah salah satu modus operandi pelaku kejahatan ini yang tengah berkembang di masyarakat.
Korbannya, menurut Tika, umumnya adalah pria mapan.
"Ia (korban) bisa pengusaha, pejabat atau profesi mapan lain yang sangat mementingkan reputasi. Jika berhasil masuk perangkap, tipe-tipe pria mapan ini sangat rentan jadi objek pemerasan. Karena itulah polisi harus masuk dan masyarakat harus tahu," kata Tika.
Tindakan tegas aparat kepolisian terhadap praktik pemerasan dengan modus menjadi orang ketiga, diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku, dan peringatan bagi para pria mapan agar waspada.
"Karena itu, banyak orang yang menjadi korban wanita berkedok orang ketiga, tetapi tidak mau mengungkapkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah pertimbangan pendek. Biasanya menghindari aib, atau khawatir mempengaruhi karier. Itu pertimbangan keliru," ucap Tika.
Menurut dia, siapa pun yang sudah terlanjur terlibat dengan persoalan orang ketiga, kata dia, harus memiliki niat untuk mempertahankan keutuhan keluarga dalam jangka panjang.
“Rasa malu, aib, bahkan karier menjadi tidak penting jika dibandingkan keselamatan keluarga ke depan,” kata dia.
Tika menegaskan pentingnya bagi pasangan untuk berkonsultasi ke pakar psikologi perkawinan. Tujuannya adalah untuk kembali membangun kesepakatan bersama. Ia mengibaratkan kegiatan tersebut seperti menekan tombol reset pada komputer.
"Di sinilah fase ujian suami dan istri sebagai pasangan. Apakah istri bisa menerima suami ketika lemah. Atau, apakah suami bisa menerima istri saat lemah,” kata dosen psikologi Universitas Mercu Buana itu.
Di fase konsultasi, keduanya harus jujur, dan jujur itu adalah bagian terberat.
"Jangan berlindung di balik dalih dikerjain, dikejar-kejar, tetapi faktanya setelah makan malam pertama, masih ada makan malam kedua, ketiga, bahkan kemudian sarapan dan makan siang. Atau dengan kata lain, tidak mungkin pihak luar bisa membuka pintu pribadi kita, kalau tidak dikasih kunci. Itu logika," kata Tika.
Berdasar teori psikologi, maupun berdasar pengalaman Tika sebagai psikolog, fase konseling pasangan yang usai dilanda persoalan orang ketiga, sangat penting untuk memiliki pemahaman bahwa kedua belah pihak harus sama-sama mau berubah.
"Lepas dari kadar besar-kecil, kasus orang ketiga terjadi karena kesalahan tiga orang sekaligus. Orang ketiga salah, suami salah, istri salah. Ini akan terbuka dalam sesi konsultasi. Jika suami-istri jujur dan bersedia me-reset hubungan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan katarsis. Menumbuhkan hal-hal positif yang justru memperkuat ikatan pernikahan ke depan," ujarnya.
Baca juga: Artis Sisca Dewi terungkap nikah dua kali
Baca juga: Psikolog: orang tua selingkuh, anak yang kena imbas
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019