Jakarta (ANTARA News) - Gempa 7,9 SR pada 12 September lalu, menurut analisis sementara tim kajian fisik pasca gempa LIPI, sempat mengaktivasi sesar-sesar aktif lokal di Bengkulu dan ikut merusak puluhan rumah penduduk. "Ini bisa dilihat dari ditemukannya sederetan rumah-rumah rusak penduduk di sepanjang Jalan Srigunting, kecamatan Gading Cempaka yang berada dalam satu garis lurus," kata Peneliti Geologi Teknik dari Puslit Geoteknologi LIPI Dr Adrin Tohari di Bengkulu, Rabu, yang bersama timnya mengkaji kerusakan bangunan dan infrastruktur akibat gempa Bengkulu. Banyaknya bangunan rusak karena berada di jalur sesar aktif, ujarnya, juga ditemukan di Kecamatan Lais, Bengkulu. Pada gempa Bengkulu Juni 2000 dari hasil wawancara dengan penduduk, di lokasi yang sama juga mengalami retakan, dan disebut oleh penduduk setempat sebagai "urat gempa", ujarnya. Menurut dia, di Sumatera selain terdapat sesar (patahan) utama Semangko yang melintasi Sumatera dan sempat bergerak sebagai gempa Solok Maret lalu terdapat banyak sesar-sesar aktif bersifat lokal yang bisa memperparah dampak gempa yang memiliki episentrum di laut. "Terlihat dari arah retakannya dari utara ke selatan yang muncul di permukaan serta menyebabkan bangunan berpindah meski hanya dalam hitungan Sentimeter. Di Lais guncangan gempa bahkan tidak saja bersifat horisontal tetapi juga vertikal," tambahnya. Dalam kesempatan itu Adrin juga menyebutkan, kerusakan bangunan pada perumahan penduduk di sejumlah kawasan di Bengkulu akibat gempa lalu, lebih banyak disebabkan karena struktur bangunan yang tidak memperhitungkan faktor kegempaan. "Memang faktor tanah yang rentan ambles juga berpengaruh. Misalnya ketika tim melakukan ground check ke daerah Kebon Tebeng, ternyata beberapa rumah di daerah tersebut mengalami amblesan hingga 10 cm. Berdasarkan peta yang saya buat daerah tersebut memang masuk dalam kerentanan amblasan tinggi," katanya. Namun, lanjut dia, kebanyakan bangunan rusak terkena gempa akibat kegagalan konstruksi misalnya ruko yang ditemukannya di kelurahan Tanah Patah, yang mengalami pancake failure di mana lantai dasar ambruk hingga satu meter akibat berat beban bangunan lantai 2 dan 3. Contoh lain adalah perumahan yang rusak akibat mengalami amblas hingga 10 cm karena dibangun di daerah lembah atau rawa yang ditimbun, tetapi tanahnya tidak dipadatkan, ujarnya. Kerusakan bangunan akibat gempa bumi biasanya banyak terjadi pada non-engineered building, yaitu bangunan yang tidak memenuhi standard konstruksi, terutama diakibatkan oleh kualitas material konstruksi dan pekerjaan konstruksi yang buruk. Kerusakan bangunan-bangunan ini, kata Adrin, biasanya terjadi terhadap bangunan satu atau dua lantai seperti rumah, ruko, masjid dan sekolah, dengan kerusakan berupa retakan diagonal di dinding, runtuhan dinding, dan kegagalan pada tiang penyangga. Sedangkan kerusakan bangunan rumah tinggal tradisional biasanya disebabkan oleh kurangnya perawatan bagian pondasi yang telah lapuk dimakan waktu, kata Master dari Teknik Sipil Okayama University Jepang itu. Untuk bangunan tempat tinggal yang moderen (dengan bahan dinding bata dan semen), kerusakan cenderung diakibatkan lemahnya sambungan antar dinding, sambungan antara dinding dan atap dan antara dinding dan pondasi bangunan. Kualitas pekerjaan konstruksi yang buruk juga menyebabkan kualitas plesteran, konkrit dan susunan bata yang buruk, tambahnya. Sementara itu kerusakan pada engineered building seperti bangunan pemerintah, rumah sakit, hingga hotel biasanya karena kualitas konkrit dan tiang penyangga. Bangunan bertingkat yang lebih rawan gempa, ujarnya, memerlukan tiang-tiang yang kuat dan banyak untuk menyangga beban bangunan di atasnya serta pondasi dalam dan tertanam pada lapisan tanah yang padat. Bangunan dengan dinding yang lentur, misalnya yang terbuat dari komposit anyaman kawat dan plesteran semen dan pasir akan mengurangi kemungkinan keruntuhan dinding dan mempunyai kekuatan yang lebih baik dari dinding bata terhadap getaran gempa.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007