Jakarta (ANTARA News) - Dalam paparan misi dua pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dengan nyata terpampang keinginan untuk menghadirkan penegakan hukum dan kondisi bebas korupsi di Indonesia.
Misalnya pada capres-cawapres 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin memuat misi "Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya" pada butir ke-6 dan "Pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya".
Sedangkan capres-cawapres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mengungkapkan "Membangun keadilan di bidang hukum yang tidak tebang pilih dan transparan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui jalan demokrasi yang berkualitas sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945" (butir ke-3).
Lantas bagaimana sesungguhnya kondisi korupsi di Indonesia sehingga kedua pasang capres-cawapres memasukkan hal tersebut ke dalam misinya?
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Korupsi adalah salah satu momok terbesar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat karena menyebabkan kebocoran dan inefisiensi penggunaan anggaran pemerintah.
Korupsi juga menyebabkan fungsi produktivitas pemerintah tidak optimal misalnya minimnya belanja produktif pemerintah yang mendorong produktivitas masyarakat juga ikut menyusun karena korupsi.
Selanjutnya, korupsi juga dapat membahayakan stabilitas sosial dan keamanan masyarakat, menghambat pembangunan, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas bangsa karena bila aparat pemerintah dapat dibeli dengan suap dan mengorupsi uang rakyat maka kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya pun menurun dan bahkan mungkin turun ke titik terendah.
Masyarakat yang muak dengan aparat serta sistem korup dapat mendorong terjadinya arus revolusi atau setidaknya reformasi seperti yang terjadi pada Indonesia periode 1998-1999. Momentum itu dijadikan titik tonggak bagi republik untuk membenani sistem pemerintahan dan membasni aparat-aparat korup.
Namun sesungguhnya pada titik korupsi di Indonesia saat ini?
Salah satu cara untuk mengukur "keparahan tingkat korupsi" adalah "Corruption Perception Index" atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang merupakan indeks komposit/gabungan yang mengukur persepsi publik terhadap korupsi di Negara-negara di dunia.
Sejak diluncurkan pada 1995, IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi periodik tahun per tahun.
Pemerintah Indonesia menggunakan IPK sebagai salah satu ukuran indikator keberhasilan dalam Strategi Nasional Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. Dalam hal ini pemerintah menargetkan skor IPK pada 2019 mencapai angka 50. Namun jika diamati skor IPK Indonesia lima tahun terakhir belum bergerak naik secara signifikan.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, bila dilihat dari tahun 1998, IPK Indonesia menduduki posisi terendah di ASEAN. Dengan skor 20, Indonesia menjadi yang terbelakang dibanding dengan Vietnam, Thailand, Malaysia (53), Singapura, Brunei Darussalam, Filipina (33).
Namun, menurut Agus, peningkatan KPI Indonesia pada 1998-2017 paling tinggi di dunia yaitu 17, dibanding dengan negara-negara yang penduduknya lebih kurang bisa dibandingkan dengan Indonesia misalnya Argentina 9, Vietnam 10, Nigeria 8, Thailand 7, China naiknya hanya 6, Kamboja malah turun 2, Brazil turun 3, Malaysia malah turun 6.
IPK Indonesia pada 2017 yang dirilis Transparency International (TI) pada 2017 sama seperti tahun 2016 di angka 37 dari skala 0-100. Di mana skor 0 mengindikasikan paling korup sementara 100 menunjukkan paling bersih.
Dibandingkan dengan Selandia Baru yang mendapat skor tertinggi (89), indeks persepsi korupsi Indonesia tertinggal 52 poin. Sementara dibandingkan dengan Somalia yang memiliki skor terendah (9), hanya selisih 28 poin.
Memang IPK di Indonesia mengalami perbaikan menjadi 37 pada 2017 dibanding 32 pada 2012. Di tingkat ASEAN, persepsi korupsi Indonesia kalah dibanding Singapura (84), Malaysia (47) maupun Brunei Darussalam (62) namun masih lebih baik dari Thailand (37) maupun Vietnam (35).
Saat pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla pertama memerintah pada 2014, IPK Indonesia berada di angka 34 yang menunjukkan pencapaian kinerja pemberantasan korupsi pada 2013 yang masih di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Selanjutnya pada 2015 IPK Indonesia ada pada angka 36 yang mencerminkan kinerja pemberantasan korupsi tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK.
Skor IPK Indonesia 2017 itu dipengaruhi 9 lembaga survei namun Indonesia mendapat skor rendah oleh 3 lembaga yaitu World Justice Projet (20) yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum; Varieties Democracy Project (30) mencakup 7 prinsip demokrasi di suatu negara dan persepi korupsi sektor publik (32) yang menilai soal pimpinan politik nasional dan lokal serta PNS pusat dan daerah.
"Kalau dari ekonomi kita lumayan, yang cukup memprihatinkan adalah pelaksanaan politik di negara kita masih kurang menggembirakan. Kami hari ini akan mendapat komitmen dari partai peserta pemilu 2019 karena mereka akan menegaskan sistem ingetritas politik di partai masing-masing," ungkap Agus.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menambahkan, ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya IPK Indonesia. Korupsi yang terjadi di Indonesia tak semata dalam bentuk penggelembungan harga barang/jasa dan suap, namun juga hadir di sistem politik, perizinan dan sebagainya.
Selain penindakan, menurut Pahala, KPK berusaha melakukan perbaikan sistem seperti dalam pengadaan barang dan jasa, perizinan, penerimaan negara, tata kelola niaga dan impor, dan sektor lainnya sebagai upaya pencegahan korupsi. Sebenarnya perbaikan sedang banyak dilakukan, dan ini adalah alasan kita untuk tetap optimis.
Dua capres
Meski masih di bawah target IPK 50, namun menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, korupsi di Indonesia disebut sudah seperti kanker stadium empat seperti yang pernah disampaikan oleh capres 02 Prabowo Subianto.
Prabowo sebelumnya menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia seperti kanker stadium empat karena sudah masuk kondisi darurat korupsi. Dia mendasarkan pada banyaknya pejabat negara, anggota dewan, menteri, hingga hakim tertangkap KPK.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam "The World in 2019 Gala Dinner" yang diselenggarakan "The Economist" di Hotel Grand Hyatt Singapura. Karena maraknya korupsi, Prabowo menilai angka kemiskinan rakyat Indonesia meningkat sementara para elit justru hidup berkecukupan.
Sementara capres 01 yang meski dalam sejumlah momen kampanye tidak banyak menyinggung soal pemberantasan korupsi, namun dalam kapasitasnya sebagai presiden petahana pernah menyampaikan impiannya mengenai kondisi ideal suatu bangsa antikorupsi.
"Kondisi ideal dari sebuah bangsa antikorupsi ketika disaring dengan hukum seketat apapun tidak ada lagi orang yang bisa ditersangkakan sebagai seorang koruptor. Kondiai idealnya semestinya seperti itu. Sebagai bangsa yang penuh keadaban, saya yakin suatu saat kita akan berhasil membangun masyarakat bangsa nirkorupsi, membangun bangsa yang bebas korupsi," kata Jokowi dalam acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2018 di Jakarta.
Menurut Jokowi, perbaikan sistem pelayanan masyarakat yang sederhana, cepat dan transparan dapat mengurangi kasus korupsi secara signifikan.
Jika sistem pelayanan sederhana cepat dan transparan, menurut Jokowi, maka tidak ada relevansi untuk menyuap, yang menyuap itu pasti pelayanannya ruwet, ribet, bertele-tele, lama, tidak transparan, karena pengusaha ingin cepat. Satu-satunya jalan ya suap, ini yang harus kita benahi. Sistem pelayanan yang sederhana, cepat, dan transparan.
Jadi bagaimana sesungguhnya program antikorupsi yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres-cawapres tersebut? Masyarakat menantikan pada debat berbobot soal antikorupsi pada 17 Januari 2019 nanti.
Baca juga: KPK butuh dukungan pemerintah & parlemen berantas korupsi
Baca juga: BPS katakan Indonesia masuk golongan anti korupsi
Baca juga: KPK libatkan 16 parpol pada KNPK di Jakarta
Baca juga: Terbitnya Perpres 54/2018 terkait dengan membaiknya Indeks Persepsi Korupsi
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019