"Kesepakatan ini menjadikan pemilihan presiden menjadi tidak relevan karena tampak tidak ada niat untuk menyelesaikan permasalahan yang fundamental yang juga merupakan amanat dari reformasi," ujar Usman ketika dihubungi Antara di Jakarta, Sabtu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu menilai bahwa pembahasan kasus-kasus spesifik pelanggaran HAM ini dibutuhkan untuk memperlihatkan kemampuan menyampaikan sekaligus menunjukkan bahwa paslon mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
"Kecuali kalau kita mau menempatkan pemilihan ini di dalam konteks mengembalikan kehidupan politik Indonesia tanpa menempatkan HAM sebagai fundamen dasar, ini tentu menyimpang pasal-pasal dalam UUD 1945 yang begitu banyak membahas tentang HAM," tambah Usman.
Lebih lanjut Usman mengatakan pemilihan secara langsung perlu diadakan karena Indonesia pernah memiliki pemimpin yang tanpa melalui pemilihan langsung dan melakukan pelanggaran HAM.
Baca juga: Aktivis sebut kesepakatan debat capres menyimpang amanat reformasi
Usman menjelaskan terdapat landasan filosofis kenapa Indonesia harus menempuh mekanisme pemilihan langsung.
"Agar terlahir seorang pemimpin yang memiliki visi atas HAM dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah HAM dan korupsi yang saling terkait dan pemilih bisa menilainya melalui debat capres," kata Usman.
Dengan adanya kesepakatan untuk membatasi pembahasan kasus-kasus pelanggaran HAM, Usman berpendapat hal itu seolah-olah menunjukkan kasus-kasus tersebut akan terus diabaikan dan dikhawatirkan tidak ada penyelesaiannya.
Baca juga: Kontras katakan debat calon presiden putaran pertama seperti uji coba
"Melalui kesepakatan ini kedua paslon memperlihatkan ketidaksiapan dalam memecahkan masalah bangsa ini terutama HAM," pungkas Usman.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019