Mataram (ANTARA News) - Musibah gempa tektonik yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), empat bulan sudah berlalu.
Masa empat bulan itu, bukanlah waktu yang singkat untuk menapaki atau menata hidup baru setelah haru biru melanda pulau yang dahulunya bagian dari wilayah Sunda Kecil itu.
Gempa itu menyebabkan 75.138 rumah mengalami rusak berat, rumah rusak sedang 33.075 unit dan rumah rusak ringan 108.306 unit. Mayoritas rumah rusak berat itu berada di Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur dan Lombok Barat.
Namun, ironisnya sampai sekarang baru terbangun 120 rumah tahan gempa. Angka yang tidak sebanding dengan puluhan ribu rumah rusak berat. Entah butuh berapa lama lagi warga harus merana di bangunan hunian sementara (huntara), tenda darurat atau bangunan darurat yang memanfaatkan sisa-sisa rumahnya yang roboh.
Terlebih lagi musim hujan semakin mendekat. Biasanya puncak curah hujan di Pulau Lombok itu berlangsung pada Januari dan Februari 2019. Khususnya di daerah Sembalun, Lombok Timur hujan disertai angin kencang akan terjadi pada bulan itu. Bahkan suhu akan benar-benar drop mengingat lokasinya yang berada di kaki Gunung Rinjani.
Ancaman penderitaan bagi korban gempa Lombok, sudah menganga di depan mata. Janji akan mendapatkan bantuan untuk perbaikan rumah, masih jauh dari panggang api karena disertai embel-embel khas, yakni sulitnya proses birokrasi. Sayang sekali, mereka rakyat kecil yang harus bertarung sendiri tanpa merasa ada pelindung dari negara.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Nusa Tenggara Barat IGB Sugihartha mengakui hingga kini baru 120 rumah tahan gempa yang terbangun pascagempa yang mengguncang daerah itu akhir Juli hingga Agustus 2018.
"Belum banyak yang terbangun, baru sekitar 120 rumah. Tapi, harus dipahami yang sudah berproses hampir 4 ribu. Artinya, tahapannya ada yang baru mulai melaksanakan dan ada yang sudah selesai melaksanakan," ujarnya di Mataram, Jumat (11/1).
Lambannya pembangunan rumah tahan gempa ini akibat terkendala kurangnya tenaga fasilitator. Sebab, jumlah tenaga fasilitator yang ada saat ini tidak sebanding dengan rumah warga yang rusak akibat gempa.
"Jumlah tenaga fasilitator yang ada sekarang baru 1.853 orang. Terbagi 803 orang dari PUPR, 1.000 orang dari provinsi, 50 orang dari TNI. Tapi, untuk TNI tidak fokus pada fasilitator, melainkan hanya melakukan pendampingan, meski bisa juga berfungsi sebagai fasilitator," jelas Sugiharta.
Berdasarkan data yang ada jumlah rumah rusak berat akibat gempa yang mengguncang NTB sebanyak 75.138 unit rumah rusak berat, rumah rusak sedang 33.075 unit dan rumah rusak ringan 108.306 unit. Sedangkan, jumlah kelompok masyarakat (Pokmas) yang sudah terbentuk sebanyak 1.870 kelompok.
Dari jumlah itu yang sudah memilih rumah tahan gempa (RTG) 22.797 kepala keluarga (KK). Sementara, RTG yang sedang terbangun 3.726 unit dan yang RTG yang sudah selesai 120 unit.
Selain kendala pada tenaga fasilitator, ia mengemukakan, persoalan lain yang menghambat pembangunan rumah tahan gempa itu adah kurangnya tenaga tukang yang tersedia di NTB.
Memang apa yang terjadi di lapangan tidak semudah apa yang dibayangkan, ujarnya.
Ia menegaskan, "Karena, kita harus mencari tukang, bahan dan lain-lain. Ini juga memiliki proses yang panjang, sehingga membutuhkan waktu."
"Kendala lain juga pokmas yang ada mereka tidak bekerja seperti tukang, meski dana yang sudah disiapkan pemerintah mencapai Rp3,5 Triliun," sambungnya.
Karena itu, ia menyatakan, untuk dapat mendorong percepatan pembangunan rumah bagi korban gempa di NTB, maka tidak ada cara lain kecuali dengan meningkatkan jumlah tenaga fasilitator, termasuk menambah tenaga tukang yang ada.
"Dalam waktu dekat ini kita tengah mempersiapkan untuk meningkatkan jumlah tenaga fasilitator sebanyak 700 orang dari PUPR. Begitu pun dengan tenaga tukang. Pemerintah Jawa Timur,melalui gubernurnya, juga siap membantu tenaga tukang selain kelancaran suplai bahan bangunan, seperti yang pernah dijanjikan," ujarnya.
Tagih janji
Korban gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, menunggu realisasi bantuan pemerintah seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres RI) Nomor 5/2018 tentang Percepatan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pasca Bencana Gempa Bumi Lombok.
"Kami butuh bukti, bukan janji," kata Kepala Desa (Kades) Jeringo, Sahril, ketika ditemui di rumahnya.
Sahril yang mewakili aspirasi warganya tidak mau dijadikan ajang politik oleh pemerintah pusat. Dia mengharapkan, ketikan mendekati Pemilihan Presiden RI, baru pemerintah merealisasikan bantuan.
Dia berharap pemerintah pusat segera merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat (korban gempa) sesuai dengan Inpres Nomor 5/2018 tersebut dan Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 2/2018 tentang penggunaan dana siap pakai (DSP).
Dalam dua aturan dasar tersebut, dijelaskan besar dana bantuan yang diterima masyarakat korban gempa, antara lain Rp50 juta untuk kategori rusak berat, Rp25 juta untuk kategori rusak sedang dan Rp10 juta untuk kategori rusak ringan.
Untuk Desa Jeringo yang didiami oleh 2.734 jiwa dengan 822 kepala keluarga yang terdampak gempa dengan kategori berat sebanyak 93 persen. Mereka pernah mendapatkan bantuan dari Menteri Keuangan (Menkeu) RI sebesar Rp1 miliar yang diterima langsung oleh Kades yang kemudian didistribusikan kepada semua warga, masing-masing warga mendapatkan Rp384 ribu.
Ia menambahkan, mestinya sekarang ini dalam kurun waktu 2019 sudah tertangani, tapi sampai sekarang baru 18 kepala keluarga yang mendapatkan bantuan yang dijanjikan oleh pemerintah berupa rumah instan konvensional (riko).
Ia berharap agar kepala BNPB pusat yang baru segera melakukan evaluasi kebijakan pimpinan sebelumnya, membuat regulasi yang mempermudah masyarakat (korban gempa) mendapatkan hak-haknya dan merealisasikan janji-janji sebelumnya.
Mustinah, warga Desa Gelangsar berharap agar segera mendapatkan bantuan dari pemerintah baik berupa rumah maupun uang. Ia mengaku belum mendapatkan bantuan berupa apapun dari pemerintah.
Senada dengan itu Tohri, warga dusun Gelangsar juga berharap segera mendapatkan bantuan yang dijanjikan sebagaimana beberapa warga desa Jeringo.
Semua warga pada saat ini sudah kembali dari pengungsian dan tinggal di rumah yang mereka bangun sendiri secara swadaya dari puing-puing rumah mereka yang telah hancur oleh gempa.
Gunakan sisa bangunan
Sementara itu, warga Desa Jeringo, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi korban gempa tektonik pada 2018, terpaksa menggunakan sisa bangunan rumah miliknya yang roboh, karena sampai sekarang belum mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Dari pantauan Antara di lokasi, Jumat, warga membangun rumah alakadarnya menggunakan sisa bangunan seperti papan triplek, kayu dan bambu. Mereka setiap hari menempati rumah darurat itu untuk menahan panas dan hujan.
Mereka khawatir akan kondisi yang ada, mengingat memasuki Januari 2019, curah hujan akan meningkat. Bagi mereka yang tidak memiliki sisa bangunan, terpaksa tidur di bawah tenda.
Sahril menyebutkan sampai sekarang masih ada warga yang tinggal seadanya seperti menggunakan tenda dan membangun rumah memanfaatkan sisa bangunan yang ada.
"Masih banyak warga yang tinggal di tempat seadanya, bahkan ada yang masih bernaung di bawah tenda," katanya.
Hal yang sama juga dialami warga Glangsar, desa yang terletak di sebelah wilayah Jeringo.
Mustinah mengaku sudah tiga bulan tinggal di tempat pengungsian, kemudian kembali ke rumah dan mereka mendirikan rumah memanfaatkan sisa puing-puing rumah yang roboh.
Ia berharap pemerintah segera mencairkan dana bantuan, agar warga dapat tinggal di rumah yang layak.
"Saya berharap pemerintah segera memberikan bantuan untuk membangun rumah," katanya.
Baca juga: Perkim NTB : rumah tahan gempa baru terbangun 120 unit
Baca juga: Korban gempa Lombok tunggu bantuan pemerintah
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019