Jakarta (ANTARA News) - Mantan Dirut Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, akan dikenai dakwaan kumulatif karena diduga terlibat dalam sejumlah tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Humas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Efran Basuning, di Jakarta, Rabu, mengatakan dakwaan tersebut dikenakan terhadap tiga perbuatan Widjanarko yang berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke PN Jakarta Selatan (25/9).
Perbuatan yang pertama adalah dugaan korupsi yang merugikan negara Rp11 miliar dalam impor sapi dari Australia tahun 2001 untuk pasokan Lebaran, Natal dan Tahun Baru yang dilakukan Bulog dengan PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan PT Surya Bumi Manunggal (SBM).
PT LNP mendapat kontrak Rp5,7 miliar untuk pengadaan 1.200 ekor sapi sementara PT SBM mendapat kontrak Rp4,9 miliar untuk 1.000 ekor sapi. Namun pengadaan sapi itu tidak terwujud sebagaimana disebutkan dalam kontrak kerjasama walaupun telah dilakukan pembayaran.
Atas perbuatannya, kata Efran, Widjanarko didakwa menggunakan pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Dakwaan subsidernya adalah pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," kata Efran.
Kedua dakwaan itu dirumuskan dalam dakwaan kesatu.
Dalam kasus impor tersebut, dari rekanan Bulog dari PT LNP, Maulany Ghany Aziz telah divonis 6 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 5 miliar, sementara rekanan dari PT SBM, Moeffreni dan Fahmi divonis 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 6 bulan, dan harus membayar uang pengganti Rp 3,3 miliar ditanggung renteng.
Saat ini, PN Jakarta Selatan juga sedang mengadili lima terdakwa lain yang tegabung dalam Tim Monitoring Pegadaan Sapi tahun 2001.
Lima terdakwa itu adalah Ketua Tim Monitoring Tito Pranolo (Direktur Pengembangan dan Teknologi Bulog), beserta empat anggota Tim Monitoring, yaitu Imanusafi (Kepala Divisi Transportasi dan
Pergudangan Bulog), A. Nawawi, Mika Rambe Kembena, serta Richiyat Subandi.
Dakwaan kedua dikenakan terhadap perbuatan Widjanarko dalam kasus dugaan korupsi ekspor 50 ton beras ke Afrika Selatan pada 2005, dengan perkiraan kerugian negara sekitar Rp76 miliar.
Sedianya Bulog akan mengekspor 50 ribu ton beras ke Afrika Selatan pada 2004. Namun proyek tersebut hanya merealisasikan ekspor 50 ton beras pada 2005.
Dalam kasus itu Wodjanarko didakwa menggunakan pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primer, sedangkan dalam dakwaan subsider, jaksa mendakwa menggunakan pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dakwaan ketiga dikenakan terhadap tindakan Widjanarko yang menerima hadiah pengadaan beras hasil kerjasama Bulog dengan Vietnam Southern Food Corporation pada 2001-2002.
Vietnam Food diduga telah mengirimkan uang sekitar 1,5 juta dolar AS ke PT Tugu Dana Utama yang kemudian mengirimkan 1,2 juta dolar AS ke PT Arden Bridge Investment (ABI) milik adik Widjanarko, Widjokongko Puspoyo.
Dari PT ABI, uang diduga mengalir ke Widjanarko, Endang Ernawati (istri Widjanarko), Winda Nindyati (putri sulung Widjanarko), dan Rinaldy Puspoyo (putra Widjanarko).
Atas perbuatannya tersebut, Widjanarko dapat disangka melanggar hukum sesuai pasal 11 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 56 KUHPidana.
Ketiga dakwaan tersebut, menurut Efran, harus dituntaskan dalam persidangan, tidak seperti dakwaan alternatif yang hanya membuktikan dakwaan terberat. "Semuanya harus dibuktikan," kata Efran.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007