"Saya sejak zaman Gubernur Sutiyoso saya konsisten bilang, macet di Jakarta itu susah untuk ditekan gubernur karena penjualannya (penjualan kendaraan dari luar ke dalam negeri) itu terjadi terus. Saya rasa justru dengan bertambahnya kendaraan, produksi dan distribusi ekonomi jadi terganggu," kata Rissalwan di Jakarta, Jumat.
Rissalwan mengakui jika pembelian kendaraan dibatasi atau dikurangi, maka pemasukan pajak juga akan berdampak. Namun, hal itu masih bisa diakali dengan cara menaikkan pajak kendaraan.
Padahal ada aturan resmi yang menetapkan bahwa pembelian mobil baru bisa didapat jika membayar uang muka atau DP sebanyak 30 persen, tapi nyatanya masyarakat masih bisa membeli mobil dengan hanya uang Rp 5 juta sebagai uang muka.
Kedua, solusi lain yaitu dengan memberhentikan kendaraan beroperasi jika usia kendaraan sudah sangat tua.
"Negara maju ada pembatasan kendaraan, seperti di Singapura. Ada pembatasan umur kendaraan juga, kalau sudah tua kendaraan dimatiin atau jadi barang mewah (vintage item). Mobil-mobil tua itu masuk vintage item dan harganya juga tinggi," sambungnya.
Dua solusi yang dipaparkan Rissalwan dalam rangka mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalanan Jakarta sebagai bentuk saran atas keputusan Pemerintah DKI yang menaikkan tarif jasa layanan parkir bagi PNS DKI di IRTI Monas.
Kebijakan kenaikan tarif parkir dianggap tidak efektif bagi Rissalwan sebab pengendara tetap akan mencari tempat parkir yang bisa menampung kendaraannya meski jaraknya jauh.
Seharusnya, lanjut Rissalwan, perilaku PNS yang terkesan mewah dengan mengendarai mobil itu dicegah dari gaya hidupnya dan memfasilitasi dengan kendaraan umum yang memadai dan layak.
Tarif parkir di IRTI Monas terbilang murah sebelumnya, yakni Rp 68 ribu untuk roda empat Rp 22 ribu untuk roda dua.
Kini, rencananya pada tanggal 15 Januari 2019 tarif akan berlaku untuk roda empat Rp 550.000 per bulan, dan roda dua Rp 352.000 per bulan.
Pewarta: Tessa Qurrata Aini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019