Gorontalo (ANTARA News) - Hidup sebatang kara selama sepuluh tahun terakhir, tak lantas membuat Kasim (57), tunawisma di salah satu sudut Kota Gorontalo, merasa kesepian dan putus asa menjalani hidup.
Bermodal sepeda tua, sebuntal pakaian serta pasir penggosok, ia berpindah-pindah tempat seantero kota, demi sekedar mencari tempat singgah untuk istirahat, menghilangkan kepenatannya seusai bekerja.
Dari rumah ke rumah, Kasim menawarkan jasanya untuk membersihkan wajan atau alat dapur lainnya dengan upah seribu hingga lima ribu rupiah.
Tak jarang ibu rumah tangga, hatinya tersentuh dan memberi upah yang lebih besar. Kasim memang tak pernah menetapkan upah yang harus dibayar, setelah wajan-wajan mereka bersih dari kerak arang berkat "khasiat" pasir gosoknya.
Sisa-sisa arang yang `menyelinap` di kuku jarinya, cukup untuk menjadi bukti bahwa pria paruh baya tersebut ikhlas menjalani pekerjaan yang unik itu.
Kasim memang pantang menjadi seorang peminta-minta dari rumah ke rumah.
"Allah tidak pernah buta, Dia selalu memberi pertolongan sehingga saya bisa bertahan hidup seperti saat ini," ujarnya, ketika ditemui di pinggiran kota Gorontalo.
Kepergian istri dan anak kehadirat Allah SWT sepuluh tahun silam, membuatnya tersadar bahwa ia harus segera membenahi hidupnya. Sebelumnya Kasim dihabiskan hari-harinya dengan mencuri dan berjudi.
"Mungkin anak dan istri saya sengaja diambil Tuhan, sebagai peringatan untuk segera bertobat dan meninggalkan dua perbuatan haram itu," katanya.
Saat itulah titik balik kehidupan Kasim berubah. Ia kembali ke jalan-Nya dan berniat membersihkan dosa-dosa hingga hidup selesai dijalaninya.
Perasaan menyesal dan bersalah, membuatnya semakin "melek" agama. Ia mengawali dengan belajar mengaji pada seorang ustad, dan kemudian berkelana dari masjid ke masjid.
Bulan Ramadhan seperti saat ini, merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu. Ia selalu menyambutnya dengan suka cita.
"Aku ingin mendapatkan malam seribu bulan. Aku ingin mengejar pengampunan di bulan Ramadhan," ujarnya.
Ia selalu teringat kata-kata guru mengajinya, yang mengutip hadist yang dirawikan Bukhori dan Muslim, "Barang siapa mengerjakan ibadah di malam Lailatul Qadar karena imannya kepada Allah dan karena mengharapkan keridhaan-Nya, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu."
Sepuluh Malam Terakhir
Kitab suci memang menyebutkan Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik baik dari seribu bulan. Umat Muslim percaya pada malam itu pintu-pintu langit dibuka, doa-doa bakal dikabulkan dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan.
Karena itu, Kasim terus mencari-cari malam Lailatul Qadar, terutama di malam-malam ganjil, pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam tiga tahun belakangan ini, Kasim mengaku tak pernah melewatkan 10 malam terakhir itu, demi memohon dihapuskan dosa dan dikabulkannya doa.
Akhir Ramadhan tahun ini pun ia telah bersiap-siap menghabiskan waktunya di 10 malam terakhir dengan beritikaf, atau berdiam diri di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari maksiat.
Pekerjaan membersihkan wajan, yang terkadang harus dilakoninya hingga malam hari, sengaja diabaikan pada 10 malam terakhir yang telah dinantikannya.
"Saya berusaha agar sepuluh malam terakhir Ramadhan tak terlewatkan, sebab tidak seorangpun tahu kapan datangnya Lailatul Qadar diantara malam-malam tersebut," ujarnya dengan pandangan menerawang.
Ia mengaku telah mempelajari cara mencari Lailatul Qadar dari berbagai buku yang ia baca saat singgah di beberapa masjid serta penjelasan sejumlah ustadz yang pernah ia temui di sepanjang perjalanannya.
Ia pun tak pernah bisa memastikan, apakah ia telah mendapatkan Lailatul Qadar itu, namun yang pasti ia merasa hidupnya jauh lebih tenang, karena telah bertaubat.
Kasim mengejar Lailatul Qadar dengan melakukan shalat tarawih, tahajud, beristighfar, berdzikir, membaca Al Quran, serta bersedekah.
Kendatipun penghasilannya dari membersihkan kerak wajan hanya beroleh rupiah yang tak seberapa, namun ia masih menyisihkan sebagian rezekinya untuk kaum fakir, seperti dirinya.
"Terima kasih pak, semoga mendapat rezeki yang lebih besar lagi," ucap seorang pengemis sambil berlalu setelah mendapatkan uang logam 500 rupiah dari Kasim.
Rezeki, kata Kasim, tak hanya sekedar berbentuk rupiah, karena itu tak pernah mendatangkan kepuasan bagi manusia. Baginya, rezeki terbesar dalam hidupnya adalah perasaan bersyukur kepada-Nya, sehingga berapapun upah yang diperoleh, Kasim tak pernah protes, marah, menyesal ataupun merasa rugi.
Makna berbagi dengan sesama pun bagi Kasim tak hanya sebatas saling memberi, namun juga saling mendoakan untuk kebaikan hidup di dunia dan akhirat. (*)
Oleh Oleh Debby Hariyanti Mano
Copyright © ANTARA 2007