Surabaya (ANTARA News) - Pengurus Wilayah Nahdaltul Ulama (PW NU) dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur meminta perbedaan penentuan tanggal untuk lebaran atau hari raya Idul Fitri dianggap sebagai hal yang biasa seperti perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, doa qunut, dan sebagainya. "Perbedaan hari raya sudah lama terjadi, bahkan di zaman Ibnu Abbas juga sudah terjadi, karena itu kita harus menghargai perbedaan yang terjadi tanpa sikap yang terlalu berlebihan, apalagi demonstratif," kata Sekretaris PWM Jatim H Nadjib Hamid S Sos di sela-sela seminar di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa. Di hadapan peserta seminar bertajuk "Fenomena Perbedaan Hari Raya, Kajian dan Solusi" yang menghadirkan pembicara dari NU, Muhammadiyah, MUI, HTI, dan pakar astronomi itu, ia mengatakan perbedaan di Indonesia juga sudah pernah terjadi seperti dalam masalah doa qunut. "Dulu, qunut dianggap masalah besar, tapi sekarang sudah biasa," katanya. Oleh karena itu, katanya, perbedaan hari raya yang sebenarnya sudah lama terjadi itu harus semakin membuat umat Islam semakin belajar untuk menghargai perbedaan, karena yang terpenting adalah menjalankan ibadah tanpa mencederai orang lain. "Muhammadiyah menggunakan hisab untuk konsistensi, karena kita dalam salat juga sudah pakai jam atau kalender, bukan pakai melihat bayang-bayang matahari lagi. Selain itu, rukyat (melihat) hilal juga merupakan sarana, bukan hal pokok seperti ibadah. Kalau sarana tentu dapat dikembangkan sesuai zamannya," katanya. Senada dengan itu, fungsionaris PWNU Jatim KH Azis Masyhuri mengatakan umat Islam sebenarnya sudah sering berbeda dalam menentukan hari raya Idul Fitri, karena itu perbedaan harus dilihat sebagai hal yang biasa disertai dengan mengembangkan toleransi antar muslim. "Rujukan ilmu yang sama saja bisa berbeda, apalagi rujukan ilmu yang berbeda seperti rukyat dan hisab, maka tentu saja bisa terjadi perbedaan. Perbedaan hisab dan rukyat sebenarnya sudah terjadi sejak tahun ke-300 hijriyah dan seterusnya," katanya. Menurut KH Azis Masyhuri yang juga A`wan PBNU itu, NU sendiri menggunakan rukyat, karena Nabi Muhammad SAW memang memerintahkan umat Islam untuk mengawali dan mengakhiri dalam berpuasa dengan rukyatul hilal (melihat hilal). "Yang namanya perintah tentu wajib, sedangkan salat yang dikaitkan dengan matahari tergelincir itu bukan perintah melihat matahari tergelincir, tapi perintah salat magrib-lah saat matahari tergelincir, sehingga cara-nya pun terserah kita, apakah pakai jam, pakai kalender, pakai teropong, atau apa saja," katanya. Oleh karena itu, katanya, NU menentukan tanggal 1 Syawal 1428 H atau hari raya Idul Fitri 2007 tidak dapat ditentukan sekarang, melainkan menunggu rukyat pada 28 Ramadan 1428 H mendatang. "Bagi NU, hisab hanya alat bantu," katanya. Namun, kata pengasuh Pesantren Aziziyah, Denanyar, Jombang itu, rukyat bagi NU bukan bersifat global, melainkan "wilayah hukum" seperti satu kawasan, sebab salat juga berbeda dalam waktu untuk setiap wilayah, bahkan qoshor (memperpendek rokaat salat) juga ditentukan jarak. Sementara itu, Ketua Lajnah Tsaqofiyah (Keilmuan) DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ust Rohmat S Labib M.E.I (Magister Ekonomi Islam) mengatakan HTI merujuk kepada perintah Nabi Muhammad SAW untuk melakukan rukyat dalam berpuasa. "Tapi, rukyat yang kami lakukan bukan bersifat lokal, melainkan rukyat global, karena perintah Nabi Muhammad SAW dalam soal rukyat itu tidak merinci jarak tertentu, melainkan untuk seluruh umat Islam. Jadi, kami menunggu hasil rukyat di seluruh dunia," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007