Sudah lebih dua pekan pascatsunami Selat Sunda melanda kawasan pesisir selatan Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, sebagian warga masih bertahan di pengungsian.
Sebagian warga lainnya seperti dari Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku, pulau terdekat dengan kawasan Gunung Anak Krakatau telah kembali untuk menjalani lagi kehidupan mereka agar berangsur-angsur pulih seperti sebelumnya.
Namun, sebagian pengungsi masih bertahan di posko pengungsian, terutama warga yang rumahnya rusak, bahkan hancur diterjang tsunami. Kerusakan paling parah dialami warga Desa Kunjir, Way Muli Timur, dan Way Muli Induk, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan.
Korban tsunami ini menunggu kelanjutan rencana pemerintah membantu memperbaiki dan membangun kembali rumah mereka, termasuk merelokasi hunian ke tempat yang lebih aman dari potensi tsunami.
Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan melalui Pelaksana Tugas Bupati Nanang Ermanto telah memperpanjang kembali masa tanggap darurat bencana yang seharusnya berakhir pada 5 Januari 2019.
Masa tanggap darurat diperpanjang lagi selama 14 hari, mulai 6 hingga 19 Januari 2019. Hal itu, antara lain mengingat penanganan pengungsi belum tuntas serta Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda masih menunjukkan peningkatan aktivitas vulkaniknya.
Di lokasi pengungsian, sumbangan bantuan untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi, seperti di Pokso Pengungsian Desa Way Muli Timur masih terus berdatangan.
Para pengungsi mengungkapkan terima kasih kepada para penyumbang dan relawan yang telah membantu mereka bertahan, sekaligus menyalurkan keperluan sehari-hari selama berada di pengungsian.
"Kami bersyukur karena banyak yang peduli. Setiap hari ada bantuan yang datang," ujar Thia, salah satu pengungsi.
Para pengungsi umumnya, termasuk anak-anak, merasa bahwa kebutuhan pokok berupa pakaian dan makanan sudah cukup. Kini, mereka menunggu bantuan pemerintah untuk pembangunan tempat tinggal tetap selanjutnya.
Secara umum, warga di pengungsian mengharapkan bantuan perahu atau kapal sebagai kebutuhan penting untuk memulihkan penghidupan sehari-hari mereka. Kapal atau perahu mereka rusak akibat tsunami.
"Untuk kerja lagi saat sudah aman nanti," kata Evi, pengungsi lainnya di Posko Pengungsian Desa Way Muli Timur.
Bantuan lain yang mereka butuhkan, berupa berbagai barang untuk meletakkan baju dan barang bantuan lainnya yang cukup banyak agar tidak berserakan di tempat pengungsian.
Pengungsi lainnya, Lastri, menyebut banyak bahan makanan yang datang ke pengungsian tidak sebanding dengan peralatan memasak di tempat itu.
"Ada yang pakai dapur umum, tapi banyak juga yang masak sendiri. Yang masak sendiri kekurangan peralatan untuk memasak, kalau bahan masakan alhamdulillah selalu ada," ungkapnya.
Ribuan pengungsi tsunami di empat desa di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu Sukaraja, Way Muli Induk, Way Muli Timur, dan Kunjir membutuhkan pula sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) mengingat kondisi pengungsian mereka di daerah pegunungan.
Mereka juga membutuhkan obat-obatan karena mulai ada yang sakit akibat lama tinggal di pengungsian dengan kondisi yang seadanya.
Selain di pegunungan/perbukitan, korban tsunami masih ada yang mengungsi di kantor camat, sekolahan, hingga tempat pengolahan padi milik warga setempat yang masih utuh, tak tersapu tsunami.
Di Kantor Camat Desa Banding, jumlah pengungsi 1.044 orang, di mushalla warga Desa Kunjir, Way Muli Timur 700 orang, di pegunungan di Desa Way Muli Induk 600 orang, dan tempat pengolahan padi 70 orang.
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda pada 22 Desember malam itu menimbulkan kerusakan dan korban jiwa di Kabupaten Lampung Selatan, Tanggamus, dan Pesawaran, Provinsi Lampung, serta Kabupaten Pandeglang dan Serang, Provinsi Banten.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 31 Desember, bencana itu menyebabkan 437 orang meninggal dunia, 16 orang hilang, 14.059 orang luka, dan 33.721 orang mengungsi.
Kumpulkan Puing
Sejumlah warga Desa Way Muli Timur mengaku pada siang hari kembali ke rumah masing-masing untuk mengumpulkan puing-puing rumah yang masih bisa terpakai untuk membangun rumah baru.
Batu bata yang masih utuh mereka kumpulkan kembali karena masih bisa dipakai untuk memperbaiki atau membangun rumah baru, pascatsunami.
Suciati, salah satu warga setempat, menyatakan keluarganya sudah mendaftarkan diri untuk mendapatkan bantuan pemerintah dalam program pembangunan rumah baru. Rumahnya rata dengan tanah akibat hantaman tsunami.
Oleh karena bantuan tersebut belum turun hingga saat ini, ia dan keluarganya akan membangun gubuk di perbukitan dekat dengan rumah saudaranya.
Hingga saat ini, ia dan keluarganya menumpang tinggal di tempat saudaranya.
"Tetapi nanti, saya, suami, dan cucu mau membangun gubuk kecil saja di gunung, karena kami masih trauma dengan tsunami dan suara gemuruh dari Gunung Anak Krakatau," katanya.
Saat terjadi tsunami, 22 Desember 2018, ia baru kembali dari Pulau Jawa. Ketika itu, ia bersama keluarga sedang istirahat dan tidak memiliki firasat apapun terkait dengan datangnya bencana itu.
Banyak orang di pinggir laut beberapa menit sebelum kejadian. Mereka, disebut Suciati, malah terdiam dan terpana melibat ombak tinggi.
"Tidak memberikan 'woro-woro' (peringatan, red.) untuk menyelamatkan diri," ujarnya.
Tetangga yang tinggal di belakang rumahnya meninggal dunia tergulung tsunami. Tetangga itu sempat menjerit minta pertolongan, sedangkan para warga berusaha menyelamatkan diri, termasuk dirinya dan keluarga. Mereka tidak sempat menolong tetangga itu hingga ditemukan meninggal dunia.
Seraya menyesalkan kejadian itu, dia berharap bantuan untuk rumah baru dapat segera diwujudkan oleh pemerintah. Ia dan keluarga tidak ingin pindah dari Desa Way Muli Timur.
"Saya dan suami maunya tetap di sini, dikarenakan kami sudah lama di daerah ini dan sumber mata pencaharian kami juga di sini," katanya.
Tsunami yang melanda pesisir Provinsi Lampung-Banten, lebih dari dua pekan lalu, telah meluluhlantakkan segala yang ada di tempat itu dan menghentikan berbagai aktivitas sebagian masyarakat setempat.
Bencana itu masih menyisakan kesedihan dan trauma mendalam bagi para korban.
Kondisi lokasi bencana di sejumlah desa di Lampung Selatan masih berserakan puing bangunan, sedangkan kesedihan para korban karena kehilangan sanak keluarga dan harga miliknya, menunjukkan dampak serius atas bencana itu.
Berbagai bantuan yang mengalir kepada mereka diharapkan membawa mereka lepas dari keterpurukan dan kesedihan terlalu lama, serta bangkit kembali memulihkan kehidupannya.
Bantuan, baik moril maupun material, yang diberikan berbagai kalangan, diharapkan meringankan beban warga terdampak tsunami.
Seorang korban tsunami yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya, Syaipul, juga sedang sibuk mengumpulkan puing-puing rumah yang hancur tersapu bencana.
Ia juga mengumpulkan berbagai barang miliknya yang masih dapat dipakai kembali.
Sejumlah warga juga membangun gubuk di bukit dekat lokasi bencana, untuk tempat tinggal sementara waktu.
Geliat aktivitas mereka di Desa Way Muli Timur, Way Muli Induk, dan Banding itu pada siang hari, antara lain didorong kebosanan tinggal di pengungsian dan tanpa melakukan aktivitas lain yang produktif.
Sebagian mereka juga memberanikan diri membuka warung dan mencari nafkah lagi pascatsunami karena mulai Senin (7/1) anak-anak harus mulai sekolah lagi.
"Ya, anak-anak sekolah sudah mulai masuk tanggal tujuh, jadi ada tetangga yang warungnya utuh mulai jualan kecil-kecilan, tapi kalau malam ya balik ke gunung lagi masih takut soalnya," ungkap Parsiah, salah satu warga terdampak tsunami.
Ada pula warga terdampak tsunami yang memilih membuka kembali usahanya bila situasi telah lebih baik dan trauma sudah berkurang.
Saat ini, proses rekonstruksi wilayah masih berlangsung, guna memulihkan kehidupan masyarakat setempat.
Rasa empati dan simpati dari berbagai kalangan menjadi salah satu faktor psikologis yang membantu warga terdampak tsunami untuk bangkit dan menapak kehidupan baru.
Masih Trauma
Warga korban tsunami hingga saat ini masih merasa trauma akibat bencana tersebut.
"Kita kan nggak tahu kapan akan ada susulan tsunami, masih was-waslah istilahnya. Ini saja kalau dengar suara-suara gemerisik atau gemuruh bawaannya waspada, takut tsunami lagi," ujar Mastariah (48), salah satu warga Desa Way Muli Timur.
Rumah tinggalnya memang tidak ikut hancur akibat tsunami. Namun, hingga saat ini trauma masih menghinggapinya bersama keluaga, meski hal itu disadari kadarnya tidak separah saat awal baru saja terjadi bencana.
Ia bercerita tentang pengalaman menghadapi tsunami, di mana bersama keluarganya sedang berada di rumah dan tidak mengetahui akan datangnya musibah itu.
Semua tetangga disebutnya ribut dan berlarian ke tempat yang lebih tinggi, sedangkan dirinya bergegas ke jalan untuk bertanya-tanya tentang kejadian apa, namun tidak segera beroleh jawaban.
Ketika ada orang yang mengatakan terjadi tsunami, ia bersama keluarga kemudian ikut berlari ke gunung. Disebutnya pula bahwa banyak orang berteriak-teriak meminta pertolongan.
"Pas mau lari di depan ini juga banyak yang teriak-teriak tolong, pada ketimpa reruntuhan, anak ibu yang laki yang nolongin orang-orang itu. Sekarang mah denger suara mobil polisi keliling aja takut, suaranya mirip gemuruh gitu kan. Takut tsunami susulan," ujar dia.
Sulis (27), seorang korban lainnya yang rumah dan warungnya rusak parah akibat tsunami, juga mengaku masih trauma atas bencana alam tersebut.
Hingga saat ini, ia masih merasa seperti bermimpi atas kejadian itu karena tidak menyangka tsunami yang datang malam hari tersebut menimpa desanya.
Ia menyadari terjadi tsunami saat tiba-tiba air setinggi lututnya sudah masuk rumah. Secepatnya, ia bersama suami sambil menggendong anak-anak, keluar rumah untuk mencari tempat aman.
"Saya dikejar-kejar ombak. Cuma lari yang ada di pikiran saya. Saya juga sempat jatuh, baju basah semua karena memang airnya sudah naik, sudah nggak pakai sandal, kaki saya injek beling aja saya nggak nyadar," kata perempuan yang sedang hamil dan kini masih menempati tenda pengungsian.
Ketika tiba di gunung, ia baru merasakan sakit di perut dan kaki, kedinginan serta menangis.
Selain rumah dan warungnya rusak, ia kehilangan berbagai barang harta miliknya karena terseret ombak besar.
"Kalau saya turun lihat rumah itu, nggak bisa nahan nangis, gimana ya Allah rumah saya, warung saya, semuanya habis. Gimana saya nanti, saya juga nggak tahu, semuanya sudah habis," ujarnya.
Program relokasi warga oleh pemerintah diharapkan segera terealisasi dengan cepat supaya ia bersama keluarga dan warga lainnya mendapatkan kembali tempat tinggal yang layak.
"Nggak di pengungsian lagi, biar bisa jualan lagi. Mau di mana juga nggak apa-apa yang penting nyaman dan aman," kata Sulis.
Berbagai bantuan, seperti makanan, pakaian, dan pengungsian memang telah mengalir sejak hari pertama pascabencana.
"Ya, kalau untuk makan sih kami merasa sudah cukup ya. Dari petugas TNI sendiri, kalau kami butuh makan, katanya datang saja ke sana. Sudah cukuplah, alhamdulillah," ungkap Evi (24), warga Desa Way Muli.
Saat ini, sudah lebih dari dua minggu pascatsunami menimpa mereka. Beberapa posko bantuan akan segera ditutup dan relawannya meninggalkan lokasi itu setelah selesai operasi kemanusiaan.
"Sebenernya agak bingung juga ya, karena katanya posko-posko termasuk TNI segera pada pergi. Bingung makannya, untuk beli-beli bahan-bahannya bingung, karena belum bisa kerja, belum ada penghasilan kaminya," ujarnya.
Hampir semua warga setempat hidup sebagai nelayan. Namun, hingga saat ini mereka belum dapat melaut selain karena trauma bencana juga kapal-kapal mereka rusak diterjang tsunami.
Di tengah trauma tsunami yang masih menghinggap, warga juga menegakkan harapan segera terealisasi rencana pemerintah membantu memulihkan kehidupan sehari-hari mereka sebagai nelayan.*
Baca juga: RT, lurah dan camat ajak pengungsi pulang di Lampung
Baca juga: Masa tanggap darurat di Lampung Selatan diperpanjang
Pewarta: Budisantoso Budiman dan tim liputan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019