"Ketika kepercayaan publik tidak tinggi maka berbagai hal bisa terjadi. Keseluruhan proses dan hasil pemilu bisa kehilangan legitimasi meskipun proses dan hasil pemilu itu sebenarnya tidak ada yang bermasalah," ujar Sigit dalam diskusi Membangun Kepercayaan Publik Dalam Pemilu 2019 di Jakarta, Selasa.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) itu menyampaikan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu lebih jauh juga bisa menghasilkan potensi konflik, baik antarpenyelenggara pemilu maupun kontestan.
Oleh karena itu, kata dia, kepercayaan kepada penyelenggara pemilu harus dipupuk terus menerus.
Menurut dia, jika merujuk ke belakang, sebenarnya penyelenggara pemilu memiliki tingkat kepercayaan yang baik ketika baru dilantik. Namun, faktanya saat ini kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu menurun.
"Survei SMRC Mei 2017, kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu mencapai 80 persen. Sedangkan merujuk survei LSI dan ICW Desember 2018, kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu di bawah 70 persen, di mana Bawaslu 69 persen, KPU 68 persen," kata dia.
Dia menekankan hal itu menjadi peringatan bagi seluruh pihak untuk melakukan instropeksi atas hal yang tengah terjadi.
"Ini menjadi bahan penyelenggara pemilu untuk merefleksi. Tentu membangun kepercayaan publik itu tidak mudah, baik dari aspek internal dan eksternal," terangnya.
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2019