Depok (ANTARA News) - Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno, menilai pembukaan kembali kedutaan besar (Kedubes) RI di Baghdad, Irak, tidak realistis, mengingat daerah tersebut masih merupakan daerah konflik yang sangat rawan. "Pada dasarnya pembukaan Kedubes itu memang baik, tapi untuk saat ini tidak realistis," katanya ketika dihubungi ANTARA, dari Depok, Selasa. Pemerintah Indonesia mempertimbangkan untuk membuka kembali Kedubes RI di Baghdad yang untuk sementara ditutup karena krisis dan konflik yang terjadi di Irak. Pembukaan Kedubes itu, kata dia, sebenarnya hanya untuk mendukung gagasan atau proposal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Irak. Proposal itu adalah penarikan total pasukan Amerika Serikat (AS) dari Irak, penempatan pasukan perdamaian dari negara-negara Muslim, dan mengadakan konvesi internasional penyelesaian masalah Irak. "Pembukaan Kedubes Irak hanya untuk mendukung gagasan SBY," katanya. Ia mengatakan persoalan di Irak sangat komplek, di mana telah terjadi perang saudara yang tidak berkesudahan, sehingga dibutuhkan kekuatan militer yang besar untuk menyelesaikannnya.Belum lagi, katanya, banyak kepentingan negara-negara Timur Tengah yang bermain seperti Iran, Arab Saudi, dan negara lainnya. "Untuk saat ini sulit untuk menyelesaikan masalah di Irak. Biarkan saja pasukan AS yang menyelesaikan masalah Irak. Jika pasukan AS ditarik akan semakin kacau keadaan di Irak," katanya. Indonesia, kata dia, tidak mempunyai kekuatan untuk posisi menekan, sehingga sulit untuk bisa menyelesaikan permasalahan di Irak. "SBY jangan utopis untuk bisa menyelesaikan masalah di Irak," katanya. Lebih baik, kata dia, pemerintah lebih fokus untuk menyelesaikan permasalahan di dalam negeri, dan lebih berkonsentrasi pada penyelesaian masalah ekonomi. "PR (pekerjaan rumah) di dalam negeri masih banyak, jadi lebih konsentrasi pada masalah dalam negeri terlebih dahulu," demikian Guspiabri Sumowigeno. (*)
Copyright © ANTARA 2007