Bandarlampung (ANTARA News) - Sebelum gelombang tsunami menghantam pesisir pantai di desanya, banyak warga Desa Banding yang menjadikan erupsi Gunung Anak Krakatau sebagai tontonan karena "Api Krakatau" lebih besar daripada biasanya.

Ada warga yang menonton erupsi Gunung Anak Krakatau dari pantai, dan ada juga yang menyaksikannya dari bagian belakang rumahnya. Sebagian rumah memang dibangun di pesisir pantai sehingga letusan api Gunung Anak Krakatau bisa disaksikan dari dalam rumah.

Salah satu warga Desa Banding Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan, Yeni, menyatakan sudah 42 tahun tinggal di pesisir pantai Desa Banding itu dan belum pernah melihat `api` Gunung Anak Krakatau sebesar sebelum tsunami.

"Kami di daerah sini sudah terbiasa melihat erupsi Gunung Anak Krakatau, namun menjelang tsunami, Gunung Anak Krakatau berbeda dari biasanya. Mirip seperti kembang api besar yang memenuhi gunung itu, sehingga sangat indah kelihatannya, apalagi terjadi di malam hari," katanya.

Warga lainnya di Desa Banding, Wanti, menyebutkan tak ada rasa takut saat menyaksikan erupsi Gunung Anak Krakatau, karena sudah terbiasa menyaksikan aktivitas gunung aktif tersebut, seperti semburan api dan kepulan asap tinggi Gunung Anak Krakatau.

Warga malah menyaksikan erupsi gunung itu seperti pesta kembang api. Besar semburannya dan tinggi menjulang, sehingga terlihat sangat indah, apalagi terjadi di malam hari,katanya.

Setelah menyaksikan erupsi Gunung Anak Krakatau itu, ia memilih pulang dari pantai ke rumahnya. Baru sebentar duduk di dalam rumah, ada teriakan terjadi tsunami dan warga berhamburan ke daerah tinggi menyelamatkan diri, katanya.

Jika letusan api Gunung Anak Krakatau terlihat indah, gemuruh suara laut yang ditimbulkan gelombang tinggi tsunami justru sangat menakutkan bagi warga sehingga dampaknya masih dirasakan hingga sekarang.

Sebagian warga bahkan menyatakan masih "merasakan gemuruh gelombang tsunami" itu sehingga belum berani pulang ke rumahnya, apalagi main ke pantai atau beraktivitas di laut.

"Sampai sekarang saya masih was-was, tidur tak bisa nyenyak karena khawatir muncul lagi gelombang tsunami," kata Yeni.

Warga lainnya, Rini Hartati menyebutkan mengungsi bersama anaknya selama dua minggu ke kantor camat setempat, karena tetap diliputi rasa takut saat hendak pulang ke rumahnya.

"Masih terngiang suara gemuruh laut yang dahsyat. Pada gelombang pertama, air laut di depan rumah hanya setinggi sebetis kaki. Namun pada gelombang berikutnya, jauh lebih besar dan lebih cepat pula datangnya. Syukurlah kami semua bisa selamat, karena cepat melarikan diri ke tempat yang lebih aman," katanya.

Karena rumahnya di pesisir pantai dan dekat dengan Gunung Anak Krakatau, ia menyebutkan menyaksikan letusan api Gunung Anak Krakatau sudah biasa, begitu juga terhadap ombak besar.

Warga lainnya di Desa Way Muli Timur juga menyebutkan keindahan "kembang api" Gunung Anak Krakatau sebelum tsunami menghantam pesisir pantai itu. Setelah tsunami pada Sabtu (22/12) malam itu, banyak rumah yang hancur, begitu juga korban jiwa.

Kerusakan di Desa Banding memang tidak separah Desa Way Muli dan Desa Kunjir Kecamatan Rajabasa, dua desa yang mengalami kerusakan terparah akibat gelombang tsunami Selat Sunda.?

Data sementara, korban meninggal mencapai 120 orang, 108 orang luka/rawat inap dan rumah rusak 710 unit di wilayah Lampung.

Wilayah terdampak tsunami Selat Sunda adalah Pandeglang dan Serang di Provinsi Banten, serta Lampung Selatan, Tanggamus dan Pesawaran di Provinsi Lampung. Korban meninggal mencapai 437 jiwa, korban hilang ?23 orang, korban luka ?7.202 orang, rumah rusak 2.752 unit dan jumlah pengungsi di Banten dan Lampung sebanyak 34.817 orang.

Relokasi

Trauma akan terulangnya tsunami yang lebih besar ternyata mendorong minat masyarakat untuk direlokasi ke tempat lebih aman, atau jauh dari pantai, karena aktivitas Gunung Anak Krakatau tetap sulit diprediksi.

Ada juga warga yang meminta direlokasi, meski bangunan rumahnya tak hancur atau rusak akibat gelombang tsunami lalu, karena selalu merasa khawatir tinggal di pesisir yang berdekatan dengan pantai.

Selain yang rumahya hancur, bangunan di daerah rawan tsunami juga perlu direlokasi ke tempat yang lebih aman, kata salah satu korban tsunami, Yeni.

Kalau ada relokasi rumah ke tempat aman, itu bagus sekali. Memang kendalanya pada pekerjaan yang berkaitan dengan laut, seperti nelayan, sehingga masalah pekerjaan ini juga perlu dipikirkan, kata warga lainnya, Rini.

Saat Presiden Joko Widodo mengunjungi korban tsunami Selat Sunda di Lampung Selatan pada Rabu (2/1) lalu, ternyata warga juga menyatakan harapannya agar direlokasi ke tempat lebih tinggi supaya tidak lagi di pinggir pantai.

"Tadi sudah saya tanyakan ke masyarakat Pulau Sebesi, mereka intinya ingin direlokasi ke tempat lebih tinggi, tidak ingin bangun di bibir pantai lagi," ujar Presiden.

Menurut Presiden, semua korban tsunami Lampung Selatan pada umumnya minta direlokasi meskipun masih ada yang tetap ingin tinggal di tempat semula.

Terkait itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono untuk segera membangun rumah warga yang hancur akibat tsunami di pesisir Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Lokasi rumah itu sekitar 400 meter dari bibir pantai.

Setelah didata, pembangunan dimulai dalam waktu tiga bulan ke depan, kata Presiden Jokowi.

Baca juga: Gunung Anak Krakatau alami 46 kali kegempaan letusan
Baca juga: Zona waspada tsunami 500 meter masih diterapkan di pesisir Selat Sunda


Pewarta: Hisar Sitanggang
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019