Songket Unggan terus eksis dan turut meramaikan pasar kain hasil tenunan benang bersama dengan Songket Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar, serta Songket Silungkang, Kota Sawahlunto, yang sudah mashyur sejak lama di Sumbar.
Kampung yang masih asri dan dikelilingi hutan luas itu letaknya memang di pedalaman. Dari pusat pemerintahan Sijunjung saja, yaitu Muaro Sijunjung, menempuh jarak tiga jam, sedangkan dari Kota Padang lebih dari enam jam.
Namun jarak bukan penghalang kreativitas. Tangan-tangan telaten penenun tetap bermain di meja palanta (perangkat alat tenun tradisional). Benang diulas, diuntai, disusun, dan dipusaran helai yang saling-silang, motif-motif dibuat sebagai penggoda.
Ada 30 motif songket dari Unggan yang sudah mendapatkan paten, namun yang terkenal di antaranya adalah motif Unggan Saribu Bukik, dan Lansek Manih.
Motif ini menjadi khas dan pembeda antara Songket Unggan dengan daerah lain.
Sekilas tentang Motif Unggan Saribu Bukik, secara kasat mata terlihat membentuk deretan bentuk kerucut yang sejajar sebagai visual perbukitan. Lalu dihiasi bentuk-bentuk untuk menambah keindahan kain, serta terlihat estetis.
Salah seorang penenun Indrayeni mengatakan motif Unggan Seribu Bukit berangkat dari motif kaligrafi yang kemudian diadaptasi dan dituangkan ke dalam bentuk tenunan.
"Motif lain yang juga digunakan di daerah ini adalah motif Aka Salimpek," katanya, seraya menerangkan dirinya sudah menenun sejak 1993.
Dalam satu bulan setidaknya ia bisa menghasilkan produksi sebanyak 200 helai songket.
Bukan hanya pada motif, faktor lain yang diklaim sebagai keunggulan Songket Unggan adalah kualitas kain yang lebih bagus, tahan lama, dan dikerjakan secara teliti.
"Salah satu kelebihan songket Unggan adalah tekstur benang di kain lebih rapat dan padat," klaim penenun lainnya Asnita (41).
Bupati Sijunjung Yuswir Arifin, ketika diwawancarai dalam suatu acara di Padang mengatakan pihaknya akan terus mendorong penambahan paten songket Unggan.
"Sekarang ada 30 motif yang sudah dipatenkan, dan ini akan terus dikembangkan," katanya.
Pemasaran Songket Unggan juga terus diperluas. Tidak hanya di Kabupaten Sijunjung saja, tapi juga ke daerah lain seperti Kota Payakumbuh dan Kota Bukittinggi.
"Sekarang kami menjual songket ke beberapa toko di Payakumbuh dan Bukittinggi, pengirimannya sekitar dua kali dalam sebulan," kata Asnita.
Wali Nagari Unggan, Radial, mengatakan di daerah berpenduduk sekitar 700 Kepala Keluarga (KK) itu, jumlah perajin tenun mencapai 260 orang. Mereka bertenun secara individu dan berkelompok.
Bertenun ibarat Arjuna yang datang ke Unggan dan sukses memikat hati perempuan di sana. Ia digandrungi bukan hanya karena rupa, tapi sifatnya yang sopan dan halus.
"Saya memilih bertenun karena kerjanya bisa di rumah, dan cocok untuk perempuan (bukan tergolong pekerjaan kasar). Hasil tenun berupa kain songket pun bisa dijual untuk menambah pendapatan keluarga," kata penenun lainnya Mirna Oktavia (29).
Jika berkunjung ke Unggan, maka jangan heran kalau di rumah-rumah warga terlihat alat satu set tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Keberadaannya ibarat mesin jahit di rumah "Tempoe Doeloe".
Harga Songket Unggan dijual bervariasi mulai dari kisaran Rp300 ribu, hingga Rp3,7 juta, tergantung ukuran kain serta motif yang terdapat pada kain. Makin ramai dan detail motif, otomatis harga makin tinggi.
Di sisi lain para penenun juga kerap menerima pesanan dari pemerintah Kabupaten Sijunjung, untuk keperluan acara, baju pegawai, dan lainnya.
Berbicara tentang Songket Unggan, nama Mendrawati, Enita Widia Citra, dan Indra Yeni (Ira) tidak bisa ditinggalkan. Karena mereka yang pernah mempelopori aktivitas tersebut.
Mereka dengan periode waktu yang mempelajari tenun saat merantau ke Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar, dimulai sekitar 1990 Kemudian pulang dengan periode waktu berbeda, lalu mengembangkannya di Unggan.
Jika menilik lebih dalam di luar kepentingan ekonomi, aktivitas tenun juga berhasil mengeratkan hubungan sosial serta kekerabatan para perempuan di sana.
Sebut saja Asnita yang berasal dari Sumatera Utara, bisa cepat membaur bersama perempuan di kampung sang suami melalui aktivitas dan belajar tenun. Ia mulai menetap di daerah berjulukan "Lansek Manih" itu sekitar tahun 2006.
Benang-benang yang tersusun sukses menghubungkan komunikasi, dan membentangkan rasa kebersamaan yang erat.
Salah satu yang menjadi wadah pertemuan para penenun adalah gedung Sentra Tenun Songket Unggan, binaan Kementerian Perindustrian RI, yang diresmikan pada 2017.
Mereka biasa berkumpul di tempat itu dari Senin-Jumat, termasuk para perempuan yang tengah belajar. Karena ada belasan alat tenun bantuan pemerintah yang bisa digunakan.
Promosi dan pemasaran
Pada sisi lain, para penenun masih terus mengharapkan pemasaran serta upaya promosi yang lebih luas. Supaya bisa menyerap kain songket yang diciptakan.
Salah satu alternatifnya adalah memanfaatkan media internet, yang sudah banyak diprakteikan pelaku-pelaku usaha di kota besar.
Kegiatan usaha dengan memanfaatkan internet tentunya menjanjikan akses yang luas dan bisa menjangkau banyak orang, mempercepat transaksi, efisiensi, dan lainnya.
Kecepatan transaksi menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan sebuah usaha. Tidak hanya pemasaran produksi, internet juga akan membantu pembelian benang dan bahan bertenun.
Upaya ini akan efektif untuk mengiringi rencana pemerintah nagari (tingkat kelurahan) membentuk suatu Badan Usaha Milik Nagari, dalam memasarkan songket.
"BUMNag (nagari) sudah dibentuk, namun anggarannya belum ada. Tapi, sudah diajukan anggaran sebesar Rp40 juta rupiah," kata Wali Nagari Radial.*
Baca juga: Mimpi Dona jadikan Songket Silungkang mendunia
Pewarta: Ikhwan Wahyudi dan dan Fathul Abdi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019