Oleh Drs. Gunawan Witjaksana, MSi. *)

Pemilihan umum (pemilu) serentak, tinggal 90-an hari lagi. Para kontestan, terutama pasangan calon presiden dan wakil presiden beserta partai politik dan tim suksesnya, sudah makin rajin membuat berbagai kegiatan, bahkan manuver guna menarik media agar mau meliputnya.

Demikian pula melalui tim media sosialnya, kedua pasangan calon beserta parpol dan timsesnya membuat berbagai pernyataan demi meningkatkan popularitasnya. Peserta Pemilu 2019 berharap apa yang mereka lakukan berujung pada elektabilitasnya pada saatnya nanti.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan PKPU No.33/2018 membatasi iklan di media hanya selama 21 hari. Hal ini memaksa berbagai media membuat berbagai kreasi dengan menyajikan berbagai sajian ataupun tayangan yang mampu mendatangkan iklan sebagai ganti sangat terbatasnya iklan politik.

Kenyataan itu ditambah ketatnya persaingan antarmedia yang menyebabkan media terkesan kurang selektif, serta kurang menyeleksi masalah yang dilontarkan oleh para elite. Dampaknya terlontarlah berbagai informasi serta opini yang kurang berbobot sekaligus mampu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Pendekatan ekonomi politik media mengesankan bahwa yang penting apa yang disajikan akan memperoleh akses memadai dari masyarakat sehingga menghasilkan segepok iklan, tanpa melihat korelasinya dengan manfaatnya bagi masyarakat, bahkan seakan tidak peduli terhadap kemungkinan munculnya berbagai dampak negatif.

Di sisi lain, terkonsentrasinya pemilu serentak yang seolah terkesan hanya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, membuat pemilu anggota legislatif, baik DPR, DPD, DPRD provinsi, maupun DPRD kota/kabupaten, seolah terabaikan.

Banyak di antara masyarakat yang kurang paham pada model pemilu serentak yang pertama kali terselenggarakan dan merupakan satu-satunya di dunia hingga saat ini.

Sosialisasi oleh KPU tentang tata cara teknis pemilu yang sudah mulai lewat berbagai media pun tampaknya belum sinifikan pengaruhnya pada antusiasme masyarakat.

Bagi capres petahana beserta parpol pendukungnya, berbagai kegiatan yang dilakukannya sebagai bagian dari tugas kepresidenan, sangat membantu, terutama dalam memelihara intensitas komunikasinya dengan masyarakat.

Sebaliknya, bagi penantang yang harus menyampaikan berbagai program yang akan mereka lakukan seandainya terpilih kelak, tentu diperlukan energi, baik moril maupun finansial yang jauh lebih besar. Celakanya, terbatasnya kampanye melalui iklan media menyebabkan parpol pendukungnya juga perlu bekerja keras untuk menyosialisasikan para calon anggota legislatif (caleg) beserta parpolnya. Mereka terkesan kurang kompak terkait dengan iuran untuk kampanye, bahkan ketidakkompakan ini sering mencuat di media.

Melihat kenyataan itu, ke depan apa yang sebaiknya dilakukan para kontestan pemilu secara keseluruhan, baik yang melibatkan petahana maupun penantang, agar mampu mengarahkan perhatian masyarakat (grove the society attention) sehingga mampu melahirkan kesan pertama yang menggoda yang berujung pada terpilihnya jagoan mereka kelak.

Beda Strategi

Berkampanye untuk memperoleh dan meningkatkan citra guna meraih simpati calon pemilih setiap kontestan tentu akan bermain drama. Hal inilah satu cara yang cukup efektif. Dari sisi komunikasi, permainan drama dengan memanfaatkan metafora theatrical tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Drama yang akan mereka perankan sebaiknya dikaitkan dengan kebutuhan aktual/riil dari calon pemilihnya. Melihat kenyataan ini, metafora theatrical/acting yang dilakukan capres dan cawapresnya tentu sangat berbeda dengan para calon anggota legislatif di setiap tingkatan.

Kenyataan riil bahwa Pilpres 2019 memperoleh perhatian media beserta timses pendukungnya masing-masing, tidak bisa serta-merta membawa dampak positif, utamanya bagi para caleg masing-masing parpol pendukung.

Bagi parpol, mungkin bisa, utamanya guna mencapai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen. Meski sangat berat, utamanya yang tidak terbantu efek "ekor jas". Namun, bagi para caleg, kompetisi bukan hanya terjadi antarparpol, melainkan juga antarcaleg satu parpol dalam satu daerah pemilihan (dapil) yang sama.

Terbatasnya iklan melalui media massa meski bisa dikreasi melalui media sosial yang jangkauannya bagi masyarakat awam terbatas, membuat mulai marak para caleg yang memasang gambar serta alat peraga, mulai dari ukuran kecil hingga sangat besar.

Selain biayanya mahal dan jangkauannya terbatas, juga sangat tidak sesuai dengan realitas yang tercantum dalam kartu suara nantinya, yang hanya berupa teks/tulisan nama.

Model semacam ini tentu menyulitkan calon pemilih, terutama yang telah cukup umur, sekaligus juga menyulitkan para caleg untuk memahamkan dirinya sehingga tertanam di hati calon pemilihnya.

Rumitnya sistem pemilu dibarengi dengan sifat manusia sebagai makhluk ekonomi yang berprinsip dengan modal sedikit menghasilkan banyak, ditambah kondisi massa mengambang yang masih cukup tinggi persentasenya, maka kemungkinannya politik uang akan tetap menjadi pilihan para caleg yang berduit.


Merayu tetapi Mendidik

Untuk Pilpres 2019, hingga kurang lebih 3 bulan masa kampanye, kesan saling serang dan saling menjatuhkan masih sangat dominan. Meski bagi petahana lebih mudah melakukannya dengan menyampaikan kinerjanya. Namun, serangan yang dilakukan penantang, sering akhirnya menjebaknya untuk membalas serangan.

Ke depan, sebaiknya mereka lakukan adalah melakukan komunikasi yang sesuai dengan prinsip utamanya, yaitu jujur, menarik perhatian, dan tetap berpegang pada etika.

Tanpa perlu malu sebaiknya para elite meniru iklan empat merek sepeda motor. Yamaha beriklan: Yamaha nomor satu di dunia. Seakan tidak mau kalah, Honda beriklan: Honda lebih unggul. Vespa pun bilang: Lebih baik naik Vespa. Suzuki mengatakan: Inovasi tiada henti.

Bila kita cermati, masing-masing saling mengunggulkan diri. Namun, mereka tdak saling menjatuhkan, misalnya Honda lebih unggul dibanding Vespa/Yamaha/Suzuki. Untuk kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden, boleh saja misalnya mengatakan pilih capres tegas. Namun, tidak perlu mengatakan sesuatu, utamanya misal yang terkait dengan fisik pesaingnya.

Melakukan kampanye negatif dengan mengritik kinerja petahana adalah sah selama data yang digunakan akurat. Syukur bila disertai dengan cara memperbaikinya ke depan secara aplikatif, dan bukan hanya normatif yang masih membingungkan calon pemilih. Model kampanye hoaks dengan data yang tidak akurat, nantinya tentu akan terkuak dalam lima kali debat capres dan cawapres, dan jelas akan sangat merugikannya.

Bagi para caleg, pilihannya perlu membangun komunikasi kelompok, syukur komunikasi antarpersona dengan para calon pemilihnya. Banyaknya pesaing baik dari luar maupun dalam parpol memaksa mereka melakukan itu.

Akhirnya, pilihannya ada pada para kontestan masing-masing. Membuat masyarakat yang makin cerdas dan rasional memercayai dan akhirnya memilihnya adalah keniscayaan.*

*) Penulis adalah dosen dan Ketua STIKOM Semarang


Baca juga: KPU disayangkan batalkan penyampaian visi-misi capres-cawapres

Baca juga: KPU: Debat capres mendahulukan gagasan bukan pertunjukan


Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019