Jakarta (ANTARA News) - Kejadian tsunami di Teluk Palu dan daerah pesisir yang menghadap Selat Sunda di Banten dan Lampung mengejutkan banyak pihak di 2018. Pasalnya, kedua bencana tersebut datang nyaris tanpa peringatan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang memberikan peringatan tsunami di Teluk Palu pascagempa 7,4 Skala Richter (SR) di kedalaman 10 kilometer (km) pada 0.18 LS 119.85 BT, Jumat (28/9), sekitar pukul 18.02 WITA. Namun banyak yang menyayangkan peringatan dini tsunami tersebut terlalu cepat dicabut.
Hasil penelitian sementara berdasarkan survei batimetri tim gabungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama universitas dan lembaga penelitian lainnya yang dilakukan dengar Kapal Riset Baruna Jaya I sekitar dua minggu pascabencana menunjukkan bahwa tsunami terjadi disebabkan adanya deformasi bawah laut Teluk Palu pascagempa.
Sedangkan tsunami di Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu (22/12), sekitar pukul 21.38 WIB, yang tidak diawali gempa semakin membuat semua orang tersentak. Korban jiwa mencapai 437 orang.
Tidak ada peringatan dini sama sekali kali ini. Sejumlah media online memberitakan tsunami tersebut sekitar 1 hingga 1,5 jam setelah kejadian, namun saat itu BMKG hanya menyebutnya sebagai gelombang tinggi.
Untuk beberapa saat tidak ada yang tahu pasti penyebab tsunami Selat Sunda. Dugaan awal dari sejumlah ahli geologi, kegempaan dan tsunami menyebutkan adanya longsoran bawah laut akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Dugaan-dugaan awal para ahli tersebut terjawab dengan cepat mana kala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menunjukkan hasil citra satelit dari Sentinel-1A tertanggal 23 Desember 2018, yang terekam pada pukul 05.33 WIB, memperlihatkan dengan jelas bagian barat daya lereng Gunung Anak Krakatau hilang.
Dari sana Kementerian Koordinator Bidang Maritim, BMKG, BPPT, LAPAN, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan rilis resmi bahwa area seluas 64 hektare (ha) di sisi barat daya gunung berapi aktif di Selat Sunda tersebut mengalami longsor yang memicu terjadinya tsunami.
Kabar Ina-TEWS
Sebenarnya penduduk Negeri Cicin Api ini pernah tersadar, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sangat penting dan diyakini akan membantu memitigasi bencana seperti tsunami.
Bagaimana pun, 26 Desember 2004 merupakan masa yang tidak mungkin terlupa oleh umat manusia. Gempa 9,3 SR yang diikuti tsunami setinggi hingga 30 meter yang meluluhlantakkan Aceh dan banyak tempat di Sumatera Utara hingga Thailand menjadi pelajaran sangat mahal yang harus dibayar.
Ratusan ribu nyawa hilang. Dan momen tersebut menyadarkan bahwa Negeri ini sangat lemah dalam hal mitigasi bencana.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya ALam (TPSA) BPPT Hammam Riza mengatakan Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) yang dikembangkan bersama oleh berbagai institusi di bawah Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) ada sejak 2008.
Mulai dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemkokesra), BMKG, BPPT, LIPI, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), BNPB, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Informasi dan Telekomunikasi (Kominfo), TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), LAPAN, Institut Teknologi Bandung (ITB) mendapat tugas sebagai institusi teknis yang melakukan operasional pengamatan unsur-unsur gempa bumi, gerakan kerak bumi dan perubahan permukaan air laut.
Sementara yang mendapat peran melaksanakan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat yaitu Kementerian Negara Ristek, LIPI, Kemdagri, Kominfo dan BNPB.
Komponen struktural berupa sensor-sensor detektor tsunami, mulai dari seismometer, stasiun pasang surut dan tsunami buoy menjadi teknologi utama pendukung Ina-TEWS. Seismometer dioperasikan oleh BMKG, sedangkan stasiun pasang surut digunakan untuk mengukur keadaan muka air laut yang dipasang di pantai atau di pelabuhan.
Sedangkan empat tsunami buoy yang, menurut dia, pernah beroperasi di perairan Indonesia, yaitu Buoy Tsunami Indonesia, Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART) Amerika, German-Indonesian Tsunami Warning System (GITWS) dan Buoy Wavestan yang memiliki Ocean Bottom Unit (OBU) untuk mendeteksi adanya gelombang yang berpotensi sebagai tsunami yang lewat di atasnya.
Dalam sistem peringatan dini tsunami tersebut, lanjutnya, terdapat pula seismograf yang mencatat dan menginformasikan lokasi gempa, besarannya, hingga waktunya yang diintegrasikan oleh Device Support System (DSS) sehingga dapat diketahui bahwa gempa tersebut akankah berpotensi menjadi tsunami atau tidak.
Data itu pun harus disamakan dulu dengan data yang diperoleh dari buoy atau OBU. Bila data tersebut memang berpotensi menimbulkan tsunami, maka BMKG akan mengeluarkan info peringatan tsunami kepada masyarakat.
Data dikirim secara aktif oleh OBU melalui underwater acoustic modem yang nantinya akan sampai ke tsunami buoy yang terpasang di permukaan laut. Kemudian, menurut dia, data yang diterima buoy akan ditransmisikan via satelit ke pusat pemantau tsunami Read Down Station (RDS) di BPPT.
Alat inilah yang berfungsi merekam kedatangan gelombang tsunami, lalu diteruskan ke Warning Center di BMKG.
Persoalannya, Hammam mengatakan 22 buoy yang sempat memperkuat sistem peringatan dini tsunami Ina-TEWS di 2012 sudah tidak ada karena rusak maupun aksi vandalisme.
Tsunami buoy, menurut dia, pernah dua kali ada di sekitar Selat Sunda. Setelah yang pertama hilang atau rusak, maka BPPT sempat menggeser tsunami buoy di sekitar Laut Sulawesi ke Selat Sunda.
Masalahnya aksi vandalisme kembali terjadi, akhirnya upaya membentengi masyarakat dari bahaya bencana tsunami kembali terkendala.
Berbagai usulan teknologi
Kini, sejumlah instansi penelitian kembali menawarkan teknologinya. BPPT, kata Hammam, mengusulkan kombinasi 8 tsunami buoy dan Cable Based Tsunameter (CBT) untuk kembali memperkuat Ina-TEWS.
Lebih lanjut ia mengatakan untuk mitigasi tsunami di Indonesia ditempatkan setidaknya 8 buoy di Sabang, Sukabumi, Yogyakarta, Bali, NTT, Banda, Manado, Papua. Sedangkan CBT ditempatkan di antara Lampung dan Jawa Barat sepanjang 929 kilometer (km), Surabaya dan Lombok (selatan) sepanjang 730 km, Bali dan Lombok utara sepanjang 225 km.
Selain itu, Hammam mengatakan BPPT siap merevitalisasi tiga tsunami buoy yang rusak dengan kisaran anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp5 miliar per buoy. Teknologi ini dapat ditempatkan di sekitar Gunung Anak Krakatau.
Sementara itu, peneliti Optoelektronika dari Pusat Penelitian Fisika LIPI Bambang Widiyatmoko mengatakan laser tsunami sensor yang telah dikembangkannya dapat dimanfaatkan sebagai pengganti tsunami buoy.
Kerja dari laser tsunami sensor ini, menurut dia, seperti cahaya melalui Fiber Optik ke laut (sensor optik diletakkan) dan cahaya balik akan membawa informasi kondisi tekanan hidrostatik yang dirasakan. Tekanan hidrostatis karena Tsunami maupun gelombang akibat lain ( kapal lewat) sehingga tidak memerlukan power supply ditengah laut, semua komponen sensor didasar laut (aman dari pencurian atau terbawa arus), biaya perawatan kecil ( didarat) dan memerlukan biaya awal yg tinggi ( Instalasi FO).
Terdapat dua tipe laser tsunami sensor yakni Fabry-Perot based Tsunami Sensor dan Fiber Bragg grating based Tsunami Sensor.
Menurut dia, jika alat tersebut dipasang di lokasi gempa di sisi selatan Pangandaran, hanya ada waktu 15 menit untuk evakuasi. Tapi bisa memberitahukan penduduk di Cilacap, Yogyakarta, Cianjur, Pelabuhan Rabu.
Lalu, menurut dia, jika alat tersebut ditempatkan di lokasi gempa atau longsoran terjadi di barat laut Donggala, maka akan ada waktu untuk memberikan peringatan bagi penduduk di Palu dan daerah lainnya.
Bambang mengatakan pembangunan Instrumentasi Kebencanaan menjadi penting (darurat) untuk alat verifikasi dan peringatan dini (harus mandiri karena kondisi alam yang berbeda). Selain itu, ada pula alternatif sensor tsunami berbasis fiber optik yang diyakini lebih efisien, mudah dalam perawatan dan mampu dibuat sendiri.
Lebih lanjut ia mengatakan harapan pengembangan alat perlu dukungan pendanaan yang berkelanjutan. Terutama untuk Laser Tsunami Meter Sistem (LTS) dengan anggaran mencapai Rp5 miliar per tahun selama tiga tahun.
Baca juga: BPPT butuh Rp5 miliar untuk revitalisasi satu buoy pendeteksi tsunami
Baca juga: Ikhtiar meredam bencana
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2019