Jakarta (ANTARA News) - Orang Indonesia mungkin tidak asing lagi dengan kata tsunami, salah satu potensi bencana yang mengintai di wilayah pesisir di Tanah Air.
Terlebih lagi tsunami yang menghantam wilayah pesisir Lampung dan Banten akhir 2018 lalu, semakin menyadarkan bahwa bencana tersebut bisa kapan saja terjadi.
Tsunami di Selat Sunda pada Sabtu 22 Desember 2018, hanya empat hari lebih cepat dari kejadian serupa 14 tahun silam yang melanda Aceh.
Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi titik balik dari pembenahan sistem kesiapsiagaan bencana di Tanah Air, karena telah membuka mata kita bahwa bencana serupa sangat mungkin terulang kembali.
Sejak bencana yang menimbulkan korban jiwa lebih dari 200 ribu orang di Aceh dan negara-negara di kawasan Samudera Hindia itu, pemerintah mulai membentuk Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS).
InaTEWS merupakan proyek nasional yang melibatkan berbagai institusi dalam negeri di bawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang diluncurkan pada November 2008 oleh Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.
Seiring waktu, InaTEWS berkembang dan manfaatnya sebagai peringatan dini tsunami bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia tapi juga masyarakat internasional yang berada di kawasan ASEAN, di sekitar Samudera Hindia maupun Pasifik Baratdaya dan Laut China Selatan.
Namun berbagai permasalahan juga timbul mulai dari alat yang rusak, pemeliharaan alat dan sebagainya.
Dikutip dari tulisan salah seorang staf Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Gian Ginanjar di media sosial Facebook yang telah berkecimpung sejak awal terbentuknya InaTEWS, ia menyebutkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi seperti tidak berfungsinya buoy yang dioperasikan BPPT, beberapa seismograph yang mati, dan lain-lain, sampai pada akhirnya dibubarkannya Menkokesra tahun 2014.
Tulisan tersebut tentu memperkuat pernyataan-pernyataan sebelumnya bahwa banyak buoy yang rusak sejak 2012 yang diakibatkan banyak hal mulai dari vandalisme, pencurian, hingga masalah pemeliharaan.
Belum Ada Alatnya
Tsunami Selat Sunda sempat menimbulkan tanya dan perdebatan, karena tsunami terjadi tanpa adanya peringatan dini.
BMKG selaku penyedia peringatan dini dalam Sistem Peringatan Dini Tsunami juga "dibully" terutama di media sosial karena dianggap tidak menyampaikan informasi dengan benar.
Saat tsunami melanda wilayah pesisir Banten dan Lampung, awalnya BMKG mengeluarkan pernyataan bahwa hanya terjadi gelombang tinggi akibat cuaca ekstrem.
Namun baru diketahui kejadian Sabtu malam tersebut menimbulkan banyak korban jiwa akibat sapuan gelombang yang mencapai daratan hingga merusak bangunan dan apapun yang dilintasinya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan tsunami di Selat Sunda tersebut terjadi secara tiba-tiba tanpa didahului gempa bumi.
Baru setelahnya diketahui bahwa tsunami tersebut dipicu oleh longsor akibat runtuhnya Gunung Anak Krakatau yang disebabkan erupsi gunung api aktif itu.
Menurut Rahmat, sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki BMKG saat ini khusus untuk memantau tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik atau gempa bumi, bukan vulkanik.
Bahkan bukan hanya di Indonesia, di dunia pun belum ada sistem peringatan dini tsunami yang diakibatkan aktivitas vulkanik. Tentunya ini yang menyebabkan tidak adanya peringatan dini tsunami saat peristiwa itu terjadi.
Teknologi dan Mitigasi
Agar bencana serupa tidak kembali merenggut banyak korban jiwa, Presiden Joko Widodo meminta BMKG untuk memperkuat Sistem Peringatan Dini Tsunami dengan melengkapi alat-alat yang dibutuhkan.
Salah satu yang dilakukan BMKG adalah memasang alat pemantau ketinggian air atau sensor water level untuk memantau ketinggian air di Pulau Sebesi yang dekat dengan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Sebelumnya juga alat yang sama dipasang di wilayah Labuhan Banten tepatnya di PLTU Labuhan, Kabupaten Pandeglang.
Sensor tersebut memantau ketinggian air sekaligus sebagai data dalam menentukan peringatan dini bila terjadi gelombang tsunami di selat sunda karena gempa tektonik maupun vulkanik.
Baca juga: Asa miliki rumah kian nyata setelah Jokowi tiba
Deputi Bidang Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi BMKG Widada Sulistya menjelaskan alat tersebut menggunakan sensor berupa tipe Ultrasonic yang menghitung seberapa kecepatan dari objek yang dilepaskan (berupa sinyal frekuensi) yang bersifat stasioner untuk mengukur ketinggian permukaan air laut.
Selanjutnya data perekaman dari sensor water level akan dikirimkan langsung ke server BMKG dan update setiap satu menit sekali untuk mengetahui ketinggian air permukaan laut di wilayah tersebut.
Pemasangan sensor ini, digunakan pada Automatic Weather Station (AWS) di 24 Stasiun meteorologi Maritim BMKG yang tersebar di Indonesia untuk mengukur ketinggian air di daerah sekitar pelabuhan.
Dari lokasi pengamatan akan didapat data atau nilai yang akan otomatis dikirim ke BMKG server lalu akan diolah menjadi produk dalam bentuk grafik. Dari sinilah, terlihat jenis gelombang, apakah gelombang pasang surut apa gelombang yang lain.
Grafik akan terlihat berbeda ketika menggambarkan gelombang pasang surut dengan gelombang tsunami karena gelombang tsunami akan terlihat lebih signifikan dibandingkan gelombang pasang surut biasa.
Peralatan yang dibuat oleh SDM muda BMKG itu juga dipasang di Ujung Kulon, Banten. Dalam waktu dekat juga akan dipasang di sisi barat Krakatau di sekitar Lampung.
Selain kelengkapan peralatan dan teknologi yang memadai, penting juga untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat.
Salah satunya dengan menggiatkan Sekolah Lapang Gempa bumi dan tsunami (SLG) untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait gempa bumi dan tsunami.
Untuk 2019, BMKG mengadakan kegiatan SLG di 30 kabupaten/kota. Kegiatan serupa telah dimulai sejak 2015.
Kabid Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya menjelaskan, kegiatan SLG bertujuan menguatkan peran BPBD dan pemangku kepentingan di daerah agar memahami informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami sehingga dapat memberikan arahan yang benar kepada masyarakat.
"Jadi saat terjadi gempa bumi dan berpotensi tsunami maka pemangku kepentingan sudah mengerti apa yang harus dilakukan dan masing-masing paham tugasnya," kata dia.
SLG menyasar BPBD, masyarakat, sekolah, aparat dan media di wilayah rawan gempa bumi dan tsunami untuk memahami potensi gempa bumi dan tsunami di wilayahnya.
Selain itu juga untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap gempa bumi dan tsunami serta memahami pesan BMKG terkait peringatan dini.
Jadi bukan hanya kelengkapan alat saja yang penting dan perlu diperkuat, tapi juga kesadaran dan kesiapsiagaan dari setiap individu harus terus diasah guna meminimalisir korban jiwa saat tsunami melanda.
Baca juga: Pendidikan mitigasi kurangi risiko korban jiwa
Baca juga: Penyintas bertutur cara bertahan dari tsunami Selat Sunda
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019