Jakarta (ANTARA News) - Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) hanya memberi nilai 62 untuk proses pengadaan barang dan jasa atau "procurement" di Indonesia, meski hal itu dianggap terlalu rendah untuk Indonesia yang telah memiliki komitmen dan keseriusan dalam memperbaiki proses pengadaan. "Tapi OECD sendiri sudah membuka diri untuk mengadakan pertemuan khusus untuk mengkompensasi negara-negara di kawasan Asia. Kalau tidak salah pada Maret 2008. Nanti kita akan mendebat lagi sebab negara-negara di Asia terbilang lebih `well-developed` dibanding Afrika," kata Sestama Bappenas, Syahrial Loetan, di Jakarta, Senin saat menjelaskan hasil pertemuan "Informal Meeting of Ministers responsible for e-Government" di Kopenhagen, Denmark pada 19-21 September lalu. Loetan menjelaskan, institusi yang beranggotakan 30 negara maju tersebut memberikan skor 62 dengan mendasarkan pada sejumlah alasan, seperti dasar hukum penyeleggaraan barang dan jasa Indonesia yang hanya Keppres, bukan UU sebagaimana lazimnya penilaian OECD; rendahnya tingkat kelulusan SDM terkait aspek `capacity building` dan `training` yang hanya 10 persen, serta kepemilikan lembaga yang bertugas khusus di bidang penyelenggaraan barang dan jasa. "Indonesia berada jauh di bawah negara Afrika seperti Ghana dan Tanzania. Bahkan dalam skala Asia sendiri, Indonesia berada di bawah Filipina dengan nilai 70 karena selain sudah didukung UU, mereka juga punya lembaga semacam NPPO (National Public Procurement Office) yang berkonsentrasi di bidang itu," jelasnya. Loetan mencontohkan penerbitan tiga UU paket keuangan, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Tanggung Jawab Pelaksanaan Keuangan Negara, sebagai bukti keseriusan pemerintah memperbaiki proses "procurement". "Esensi reformasi ini, kita telah berupaya agar keuangan negara dikelola dengan cara transparan, bersih dari kebocoran, dan bisa memberikan tanggung jawab yang jelas pada lembaga atau pihak pemenang tender penyelenggaraan," ujarnya. Terkait dengan pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Loetan mengatakan pemerintah akan segera mengeluarkan Peraturan Presiden tentang pembentukan lembaga itu yang ditujukan untuk mengelola dan menjalankan reformasi di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. "Draft Perpres ini sudah selesai dibahas lima kementerian yaitu Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Perekonomian, Meneg PPN/Kepala Bappenas, Menteri Sekretaris Kabinet, dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Asumsi saya kalau mengikut pidato Presiden 17 Agustus lalu, institusi ini bisa diharapkan sudah bisa operasional pada awal-awal tahun 2008," katanya. Perpres tersebut, ditambahkannya, akan semakin menyempurnakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa publik karena hanya memuat tata cara penyelenggaraan penyediaan barang dan jasa. "Fungsi lembaga ini pertama-tama adalah menetapkan kebijakan tentang pengadaan barang dan jasa, termasuk mengkaji apakah Keppres 80 masih bisa berlaku atau tidak," katanya. Fungsi lain lembaga ini, jelasnya, adalah memonitor dan melakukan evaluasi atas pengadaan barang dan jasa yang telah dilakukan untuk dijadikan sebagai bahan masukan pada penyusunan RAPBN. "Dia juga akan membina sumber daya manusia yang mampu melaksanakan pengadaan barang dan jasa," katanya. Selain itu, kata Loetan, lembaga itu diharapkan dapat menjadi "juri" atas konflik yang terjadi akibat keputusan penetapan pemenang tender yang dilakukan kementerian/lembaga negara (KL). "Karena biasanya yang kalah tender mengadunya bahkan ke Presiden. Itu kan gak perlu. Nah lembaga ini yang nantinya mengatasi, istilahnya `conflict resolution agent`. Jadi kalau ada yang ribut-ribut lembaga ini yang jadi penengahnya," demikian Loetan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007