Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil saat ini lebih menyetujui untuk meminta dispensasi pemberlakuan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk bank-bank BUMN.
"Karena undang-undangnya memungkinkan kita ikuti atau mengikuti sebuah dipensasi. Kalau kita ingin menjadi bank besar yang ini, maka konsolidasi lebih bagus, tetapi ada faktor-faktor sejarah misalnya BNI sebagai bank yang sangat tua, pernah jadi bank sentral republik, bank pertama, hal-hal ini perlu dipertimbangkan," katanya di Jakarta, Senin.
Untuk itu, ia belum ingin berkomentar lebih lanjut mengenai masalah konsolidasi bank BUMN. "Nanti kita lihat dulu, saya belum bisa mengomentari masalah itu," katanya.
Dalam aturan SPP tersebut dinyatakan suatu pihak hanya boleh menjadi pemilik saham pengendali pada satu bank saja. Untuk itu, bila ada pihak yang terkena maka ada tiga cara untuk merestrukturisasi kepemilikan sahamnya. Pertama melalui pengalihan saham, kedua merger ataupun akuisisi, ketiga membentuk perusahaan induk (holding company).
Saat ini, pemerintah memiliki secara mayoritas maupun seluruhnya saham-saham di bank BUMN. Untuk itu maka pemerintah terkena kebijakan SPP tersebut.
Sementara itu Direktur Utama BNI Sigit Pramono mengatakan pemerintah akan menempuh cara yang paling ringan, yaitu meminta pengecualian kepada Bank Indonesia untuk bank-bank BUMN.
"Kami memperkirakan, pemerintah mencoba yang paling ringan sehingga tidak perlu melakukan merger dan akuisisi, mereka akan mencoba meminta dulu pengecualian kepada BI bahwa mereka sebelumnya sudah ada bank sendiri-sendiri seperti BNI, Bank Mandiri, BTN, dan BRI," katanya.
Ia menambahkan bila memang hal itu tidak bisa maka ia memperkirakan pemerintah akan membuat perusahaan induk (holding company).
"Pemerintah paling maksimal akan membentuk perusahaan induk," katanya. Bila hal ini dilakukan maka ia berharap BNI menjadi perusahaan induknya.
Sementara itu, Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan, pihaknya merasa siap menjadi perusahaan induk bila pemerintah memilih cara ini.
"Kalau menjadi operasional holding kita memang bank yang modalnya paling besar, `costnya` paling efisien, dan kita kalau seandainya menjadi `operasional holding` tentu kita akan baik, karena kita sudah mempunyai pengalaman merger," katanya.
Laporan Bank Mandiri pada rapat dengar pendapat di Komisi XI DPR RI menyatakan perlunya peran kekuatan nasional (Pemerintah, BI, dan DPR) untuk mengatur proses konsolidasi Bank BUMN agar lebih terarah.
Dalam laporan itu disebutkan mengenai `cetak biru` Bank BUMN Konsolidator. Bank BUMN dengan modal yang kuat, skala bisnis yang dominan, kinerja keuangan yang solid, manajemen profesional, dan efisiensi operasional menjadi bank yang berfungsi melakukan aksi konsolidasi.
Laporan tersebut juga menyatakan perlunya insentif pajak dan perijinan bagi bank BUMN konsolidator dalam melakukan aksi akuisisi untuk konsolidasi.
Selain itu, mendorong keterlibatan pemerintah dan DPR untuk meyakinkan dan mendorong manajemen di bank BUMN ataupun bank swasta nasional maupun yang dimiliki asing yang menjadi target akuisisi bank BUMN konsolidator untuk mendukung proses akuisisi dengan baik.
Bank BUMN konsolidator diharapkan juga memiliki kesempatan pertama untuk menawar saham perbankan yang ada di PPA.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007