Hingga menit-menit akhir 2018 tercatat 437 orang meninggal akibat tsunami yang berawal dari longsornya material letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, selat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera.
Tsunami yang terjadi pada Sabtu (22/12) malam itu seolah menjadi klimaks letusan Gunung Anak Krakatau dan juga klimaks penderitaan bagi beribu orang yang terkena dampaknya. Sungguh ini merupakan catatan sedih di akhir 2018 dan awal 2019.
Data tentang 437 orang meninggal itu diungkapkan Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho kepada pers di Jakarta, Senin (31/12) siang. Dari korban meninggal sebanyak itu, 426 jenazah sudah dimakamkan, sedangkan sembilan jenazah belum teridentifikasi.
Tentu data itu sudah termasuk beberapa personel Seventeen yang saat itu sedang "manggung" di Tanjung Lesung, Provinsi Banten. Juga sudah mencakup korban dari karyawan PT PLN.
Tim pencarian dan pertolongan gabungan terus melakukan pencarian karena belum semua korban ditemukan. Selain korban meninggal, 16 orang juga dilaporkan masih hilang.
Pada sisi lain, tsunami akibat longsornya material letusan Gunung Anak Krakatau mengakibatkan 14.059 orang mengalami luka-luka dan 33.721 orang mengungsi di berbagai tempat yang tersebar di Provinsi Banten dan Provinsi Lampung.
Tsunami di Selat Sunda juga menyebabkan sejumlah kerusakan terhadap sejumlah sarana dan prasarana baik hunian warga, tempat usaha maupun sarana pariwisata, termasuk hotel atau penginapan di sepanjang bibir pantai di dua provinsi itu yang menghadap ke Gunung Anak Krakatau.
Data BNPB menyebutkan 2.752 rumah warga, 92 penginapan dan warung, 510 perahu dan kapal serta beberapa fasilitas umum lainnya porak-poranda. Puing-puing bangunan terlihat jelas dari beragam foto dan video yang tersebar di media sosial maupun media massa.
Dahsyatnya tsunami kali ini menjangkau lima kabupaten di dua provinsi, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kota Serang di Provinsi Banten serta Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran dan Tanggamus di Provinsi Lampung. Meski dampak langsungnya hanya di lima kabupaten dan kota, tetapi kekhawatiran tentu dirasakan masyarakat di dua provinsi dan juga di daerah lainnya.
Kelabu
Tampak jelas bisa dicermati mengenai banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat tsunami Selat Sunda. Pertama, kejadian berlangsung pada malam hari. Datangnya air tidak diketahui dan terlihat dari jauh sehingga orang tidak menyadari kedatangannya.
Kedua, kejadian ini berlangsung pada akhir pekan saat banyak orang berlibur sekaligus menginap dan menyelenggarakan kegiatan di tempat-tempat wisata. Semula keadaan seperti "normal-normal" saja karena memang biasanya seperti itu.
Ketiga, kejadiannya juga berlangsung menjelang akhir tahun saat banyak pihak telah menyelesaikan berbagai kegiatan selama setahun kemudian meluangkan waktu untuk berlibur menjelang akhir tahun. Wisata akhir dan awal tahun adalah kegiatan rutin yang sering dijalani banyak orang.
Tetapi agenda wisata pada Sabtu itu berubah menjadi nestapa. Hari itu benar-benar menjadi Sabtu malam Minggu yang kelabu karena tsunami menghantam.
Tsunami datang pada malam hari ketika orang tidak bisa memantau datangnya gelombang air laut. Ia juga datang saat orang ramai dan berkumpul di kawasan yang dekat dengan pantai.
Hari itu sungguh merupakan "Desember kelabu" karena tidak ada gempa kuat (baik vulkanik maupun tektonik) tetapi ternyata ada gelombang air laut merambah daratan. Para ahli dan instansi terkait pun mendeteksi bahwa tsunami dipicu longsoran atau runtuhnya material letusan Gunung Anak Krakatau ke lautan.
Sulit membayangkan sebesar apa dan bagaimana material yang sangat banyak volumenya itu saat longsor atau runtuh. Tentu jumlahnya sangat banyak dan sangat besar, terbukti dari dahsyatnya gelombang tsunami akibat material padat dari gunung longsor ke laut.
Baca juga: BNPB: volume Gunung Anak Krakatau menurun
Menyusut
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun memprediksi volume Gunung Anak Krakatau mengalami penyusutan antara 150 sampai 180 juta meter kubik akibat letusan dan kegempaan vulkanik selama beberapa pekan lalu.
Bahkan penyusutan volume itu sampai 60 persen atau dua per tiga dari volume awal, kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Badan Geologho Kementerian ESDM Agus Solihin saat dihubungi di Pandeglang, Minggu (30/12).
Akibat longsor, saat ini kondisi gunung itu mengalami penyusutan volume sehingga tubuh gunung menurun. Berdasarkan analisis visual, Gunung Anak Krakatau yang semula tingginya 338 meter di atas permukaan laut (mdpl), kini terkikis menjadi 110 meter.
Selain itu , Gunung Anak Krakatau juga menjadi lebih rendah dibandingkan Pulau Sertung. Tinggi Pulau Sertung hingga kini mencapai 182 mdpl sehingga Anak Krakatau lebih rendah menjadi 110 meter.
Pulau Sertung adalah sebuah pulau yang terletak di Selat Sunda yang memisahkan antara Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Pulau ini letaknya berdekatan dengan Pulau Panjang, Pulau Anak Krakatau dan Pulau Rakata dan Pulau Sebesi.
Penyusutan volume Anak Krakatau itu hingga 180 juta kubik dipastikan menyisakan antara 40 sampai 70 juta meter kubik. Bahkan, kondisi gunung dua pertiga dari volume semula akibat tingginya letusan.
PVMBG menetapkan empat status dalam pemantauan terhadap setiap gunung api di Indonesia. Yaitu, Normal (Level I) ketika aktivitas gunung berfluktuasi tetapi tidak mengalami peningkatan dan Waspada (Level II) saat gunung api mengalami peningkatan aktivitas.
Selanjutnya, Siaga (Level III) saat gunung api mengalami peningkatan aktivitas secara terus-menerus dan disertai letusan. Berikutnya Awas (Level IV) ketika aktivitas gunung api berlangsung nyata dan terus-menerus meningkat yang disertai letusan.
Artinya, kalau saat ini PVMBG menetapkan status Gunung Anak Krakatau pada Siaga (Level III) maka masih pada tingkat berbahaya. Karena itu, masyarakat masih dilarang mendekati gunung tersebut dalam radius lima kilometer dari kawah.
Itulah sebabnya, meskipun Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda tidak mengeluarkan suara dentuman pada periode pengamatan Senin, 31 Desember 2018 pukul 06.00 sampai dengan 12.00 WIB, tetapi belum berarti fase letusan yang berbahaya telah telah berakhir. Terbukti dari penetapan statusnya yang masih Siaga (Level III).
Data tersebut diambil dari Stasiun Sertung, pulau gugusan dekat Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Data juga menunjukkan bahwa pada 31 Desember 2018, asap kawah bertekanan lemah hingga sedang teramati berwarna putih dengan intensitas tipis hingga tebal dengan tinggi 100-300 meter di atas puncak kawah.
Sedangkan untuk aktivitas kegempaan terpantau terjadi kegempaan letusan sebanyak 11 kali dengan amplitudo 18-35 mm, durasi 85-320 detik. Selain itu, terpantau kegempaan embusan sebanyak 11 kali, amplitudo 2-21 mm dan durasi 40-186 detik.
Meski pada pengamatan selama enam jam pada 31 Desember 2018 tidak ada dentuman, tampaknya masih butuh kesabaran untuk benar-benar yakin bahwa tidak akan meletus lebih dahsyat lagi. Yang masih dilakukan adalah pemantauan untuk menyimpulkan keadaan atau perkembangan yang mungkin terjadi.
Baca juga: Tanggap darurat bencana tsunami di Lampung Selatan diperpanjang seminggu
Keprihatinan
Akibat longsoran dari material letusan Gunung Anak Krakatau ke laut pada 22 Desember itu yang kemudian mengakibatkan terjadinya tsunami, keadaan pun menimbulkan kesedihan mendalam bagi korban dan keluarganya, kesedihan yang diyakini juga dirasakan banyak orang di berbagai daerah di Indonesia sebagai perasaan senasib dan sepenanggungan karena bencana berpotensi terjadi juga di daerah lain.
Kini hari-hari yang penuh keprihatinan masih dirasakan ribuan korban dan keluarganya. Pada saat yang sama kesibukan instansi pemerintah juga luar biasa untuk menangani dampak tsunami itu.
Penggalangan dana dan bantuan kemanusiaan juga ditunjukkan berbagai pihak di masyarakat. Semua itu menunjukkan bahwa kegotongroyongan masih kuat di masyarakat dan bisa demikian cepat diwujudkan.
Keprihatinan di satu sisi dan kesibukan luar biasa di sisi lain telah dan sedang dilalui masa-masa akhir dan awal tahun ini. Nilai-nilai kegotongroyongan dalam kebaikan memang selayaknya terus-menerus dipertahankan dalam mengantisipasi, menghadapi dan mengatasi setiap masalah di masyarakat, terutama saat terjadi musibah atau bencana.
Dengan demikian derita korban bencana, termasuk tsunami Selat Sunda bisa segera berakhir. Tentunya agar kehidupan mereka segera pulih dan bagi pengungsi tidak berlama-lama hidup dalam nestapa di pengungsian.
Selain kesedihan dan keprihatinan pada korban dan keluarganya, pemulihan sarana umum yang rusak diyakini menjadi perhatian serius pihak terkait. Yang pasti para korban tidak melalui hari-hari kelamnya sendiri, tetapi ada banyak instansi dan pihak yang memberi perhatian.
Namun khusus bagi pengungsi korban tsunami yang berasal dari beberapa pulau di sekitar Anak Krakatau dan kini ditampung di Kalianda tampaknya masih perlu bersabar mengingat status gunung itu masih Siaga (Level III).Tak satu pun bisa memastikan--apalagi memaksakan kehendak-- kapan perubahan status ke arah normal (Level I).
Bahkan PVMBG sekalipun tidak bisa memastikan karena instansi itu akan mengubah status berdasarkan pemantauan perkembangan aktual dan aktual atas Gunung Anak Krakatau. Semua pihak berharap penderitaan ini segera berakhir.
Semua berdoa kepada Yang Maha Kuasa dan yakin bahwa situasi akan kembali membaik seperti sedia kala. Entah kapan tapi yakinlah !
Baca juga: Kepastian kondisi Anak Krakatau rujukan pengungsi pulang ke rumah
Baca juga: Gunung Anak Krakatau tidak lagi mengeluarkan suara dentuman
Baca juga: BNPB: korban meninggal tsunami Selat Sunda 437
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019