Jakarta (ANTARA News) - Pagi itu hujan mengguyur kawasan Bandara Internasional Silangit di Siborongborong, Tapanuli Utara, Sumatera Selatan, setelah semalaman suhu udara mencapai 14 derajat Celsius. Namun dalam jarak 30 menit, terik sinar matahari menyinari kawasan Pelabuhan Muara di tepi Danau Toba.
Di bawahnya, ribuan orang berkumpul. Anak-anak sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama berbaris, dengan lembar-lembar ulos masing-masing melekat sebagai selendang atau ikat kepala. Mereka tengah mengikuti Pawai Budaya 1.000 Ulos, yang dipepatkan dalam rangkaian puncak upacara adat Ulaon Matumona.
Pria berusia 80 tahun yang akrab disapa Opung Jafaris boleh dibilang menjadi salah seorang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan cuaca nan kontras tersebut. Sebab ia bertindak sebagai dukun penjaga alam, hujan, angin serta pencegah gangguan dari hal-hal yang tidak nampak (begu-begu) dalam rangkaian acara Ulaon Matumona tersebut.
Dipimpin Opung Jafaris, rombongan peserta Ulaon Matumona dari berbagai horja bius yang menetap di Kecamatan Muara bergerak mulai dari muka Gereja HKBP Untemungkur diarak dalam kelompok Pawai Budaya 1.000 Ulos, berjalan kaki sekira 650 meter jauhnya menuju Lapangan SD Inpres Muara, tempat acara puncak Ulaon Matumona dilangsungkan.
Ulaon Matumona secara harafiah berarti kegiatan untuk berkumpul untuk memetik hasil produksi dan mengkonsumsinya secara bersama-sama dalam satu kecamatan, demikian penjelasan singkat Opung Jafaris.
"Dunia Muara ini jadi tempat kami semua, di sini ada banyak pohon yang berbuah, ada banyak batu-batu yang bisa dijual juga pasir. Lagi, padi, alpukat, mangga, rambutan dan selain-lainnya itu baru dipetik. Itu artinya matumona, artinya masih matang," kata Jafaris.
"Kayak padi itu masih disabit, lalu padi tadi itu mau digiling, kita mau makan, patumona. Matumona itu mengambil, patumona itu memakan," tuturnya lagi.
Sebagai seorang yang bertanggung jawab untuk memantapkan rangkaian acara supaya berkesesuaian dengan berbagai aturan adat dan tradisi masyarakat Batak, Opung Jafaris mengandalkan betul ingatannya yang menjamah pada upacara serupa yang ia saksikan saat ia masih remaja berusia 12 tahun.
Mengingat Opung Jafaris saat ini sudah menginjak usia 80 tahun, maka terakhir kali ia menyaksikan upacara Ulaon Matumona di Muara terjadi pada medio tahun 1950-an.
"Pada saat itu saya sudah umur 12 tahun, dari situ saya masing ingat-ingat semua, apa yang bisa disuguhkan itu dikumpulkan," kata Opung Jafaris.
Soal kapan terakhir kali Ulaon Matumona digelar di Muara memang cukup simpang siur, setidaknya ada dua pendapat lain yang mengutarakan keterangan berbeda.
Tumpak Winmark Hutabarat misalnya, pria yang menjabat sebagai Direktur Pesta Budaya Rakyat dalam kepanitiaan Festival Tenun Nusantara 2018 menyebutkan bahwa terakhir kali Ulaon Matumona digelar pada tahun 1986 silam.
Sedangkan Jusman Sianturi, salah seorang tetua adat di Kecamatan Muara menyebut upacara sejenis pernah digelar di wilayahnya pada 2013 lalu.
Terlepas dari mana yang benar, berlangsungnya Ulaon Matumona di Muara pada 15-17 Oktober lalu menjadi tonggak pelestarian budaya tanah Batak di kalangan remaja dan generasi penerus agar nantinya lima, 10, 50 maupun 100 tahun mendatang ia tak hanya berakhir menjadi arsip semata tetapi merupakan rutinitas yang berulang dalam periode tertentu.
Baca juga: Festival Tenun Nusantara diharapkan mengangkat derajat penenun
Martonggo Raja
Meski tak satu suara soal kapan terakhir kali Ulaon Matumona digelar, Opung Jafaris, Tumpak Hutabarat dan Jusman Sianturi menyepakati bahwa gelaran tersebut harus berlangsung dalam tiga tahapan yang dibagi dalam tiga hari.
Di hari pertama, raja-raja bius, ketua adat dan ketua masyarakat yang bisa diwakili kepala desa berkumpul dalam musyawarah yang bernama Martonggo Raja.
Dalam Martonggo Raja ditentukan jambar atau pembagian berbagai peran yang diemban tiap-tiap orang yang terlibat dalam Ulaon Matumona, termasuk penentuan porsi bagi masing-masing dari kerbau yang nantinya akan dipersembahkan pada acara puncak.
Pada hari kedua, tim ritual yang sudah ditunjuk pada Martonggo Raja akan menentukan kayu pohon yang akan dipakai dalam Paojakkon Borotan, menjemput dan mengaraknya sejauh dua kilometer menuju lokasi prosesi acara. Secara harfiah Paojakkon Borotan adalah prosesi untuk menanamkan batang pohon yang akan dijadikan tempat mengikat tali kerbau yang bakal dipersembahkan.
Lantas pada hari ketiga, prosesi puncak Ulaon Matumona akan ditandai dengan Mangalahat Horbo atau menombak kerbau persembahan yang nantinya sebagian dagingnya bakal dibagikan sesuai dengan jambar masing-masing peserta upacara.
Tumpak, yang akrab disapa Siparjalang lantaran hobinya berkeliling Indonesia itu, mengaku memiliki tantangan untuk memastikan keotentikan rangkaian prosesi Ulaon Matumona.
"Sangat banyak yang tidak pernah melakukan dan sangat sedikit yang pernah melihat Ulaon Matumona ini. Jadi Ulaon Matumona ini konsepnya disatukan dari berbagai perungindan bersama masyarakat Muara," kata Tumpak.
Eratnya prosesi upacara sejenis Ulaon Matumona dengan kepercayaan lokal Batak baik itu Sipelebegu (punya sebutan berbeda di beberapa wilayah Batak, misalkan Perbegu di Karo) maupun Parmalim juga diakui Tumpak menjadi salah satu tantangan tersendiri untuk menggelar kembali kegiatan yang menjadi bukti kekayaan tradisi Nusantara itu.
"Ini yang harus dimoderasi, karena proses kebudayaan berbeda dengan proses agama. Prosesi kebudayaan adalah bagian dari tradisi masyarakat itu sendiri, yang berdinamika sendiri," ujar Tumpak.
Pun demikian, Tumpak bersyukur masyarakat Muara cukup antusias menyambut kehadiran Ulaon Matumon yang menjadi bagian dari Festival Tenun Nusantara, yang tidak terlepas dari lekatnya kehidupan warga setempat dengan ulos.
"Tidak ada penolakan di sini. Denyut nadi masyarakat sini dari ulos, hidup dari menenun. Di luar aspek ekonomi, keseharian tradisi mereka juga selalu bersentuhan dengan ulos, mulai dari pernikahan, kelahiran, pesta adat, kematian...jadi tidak ada penolakan di sini," tegasnya.
Jusman Sianturi mengamini pernyataan Tumpak, menyebut Ulaon Matumona sebagai kegiatan budaya yang biasa dikerjakan oleh nenek moyang warga Muara, meski pada masa lampau hal itu memang erat dengan prosesi meminta berkah dan kemudahan dari Mulajadi Nabolon, demikian masyarakat Batak menyebut Dewa tertinggi dalam sistem kepercayaan mereka.
"Dulu kegiatan itu dilaksanakan oleh leluhur kami untuk meminta restu dari Mulajadi Nabolon untuk berkat dan keselamatan bagi masyarakat Muara, agar pekerjaan kami bisa menghadirkan kemakmuran dan kesejateraan," kata Jusman.
Baca juga: Wisata Toba berpotensi saingi Bali
Rumitnya prasyarat
Sebagai sebuah prosesi adat, berbagai prasyarat tentu telah digariskan agar nilai kesakralan dan kebersesuaian Ulaon Matumona tercapai. Dalam hal ini, Opung Jafaris menjadi salah satu sosok yang berperan untuk menyelami kembali ingatannya --yang menurutnya-- seusia 68 tahun silam.
Menurut Opung Jafaris terdapat 21 jenis suguhan yang nantinya akan dikonsumsi atau di-patumona bersama-sama oleh peserta Ulaon Matumona, di antaranya kambing putih, ayam putih, ayam merah merah, ayam hitam putih, dekenehura (ikan mas), ita putih, ita gurgur dan hino pingan.
Untuk batang pohon yang bakal dipakai sebagai Borotan pun tentu ada kriterianya.
"Harus tumbuh sendirian dalam radius 20 meter, yang artinya kalau dia nanti tumbang tidak merusak kayu yang lain," kata Opung Jafaris.
"Ukurannya harus sebesar orang gemuk, dengan panjang tiga meter. Satu meter ditanam, satu meter lepas, dan satu meter di atasnya dipasangi jagar zagar (semacam sesajen yang disematkan ke bagian atas batang Borotan). Satu meter yang lepas itu nanti buat tempat ikat kerbau," ujarnya menambahkan.
Untuk kerbau yang nantinya bakal dikorbankan juga tak kalah rumit syaratnya yakni harus memiliki dua belang di leher, empat pusaran yang di bagian depannya harus sejajar tembus antara sisi kanan dan kiri dengan usia sudah mencapai enam tahun.
Kemudian tanduk si kerbau harus berdiri tegak dan tidak boleh terdapat pusaran di kepala maupun di dekat ekor.
"Ekornya harus makorus, bukan madungdung. Artinya harus menjuntai hingga ke bawah lutut kerbau. Kalau madungdung itu berarti kerbaunya masih marsai, kurang sempurna," katanya.
Baca juga: Presiden dorong pembenahan produk wisata Danau Toba
Prasmanan swadaya
Kendati dihadirkan sebagai sebuah kegiatan budaya yang dilakukan dalam rangkaian Festival Tenun Nusantara 2018, Ulaon Matumona di Muara tak meninggalkan aspek paling penting yang menjiwainya yakni sarana bersyukur dan meminta keselamatan serta kesejahteraan bersama-sama.
Oleh karena itu, hampir seluruh masyarakat Muara terlibat di dalamnya, bersumbangsing dengan apa saja yang bisa mereka berikan demi terlaksananya Ulaon Matumona.
Tumpak Hutabarat mengaku hal itu serupa dengan apa yang dilakukan pada masa lampau, bahwa prosesi Ulaon Matumona berlangsung ditanggung biaya swadara masyarakat.
"Jadi karena mereka konsepnya per marga, ada yang menyumbangkan uang, ada yang menyumbangkan beras. Setahun sekali semua orang bersyukur, karena kadar bersyukur tidak cuma ditakar dari kesehatan semata, tapi bisa juga keamanan maupun hasil panen yang melimpah," kata Tumpak.
Kehadiran masyarakat Muara juga dipastikan oleh Upung Jafaris dalam Ulaon Matumona kali ini.
"Kehadiran masyarakat Muara itu ada masing-masing. Yang punya uang menyumbangkan agar pesta ini jadi, yang lainnya bisa berkontribusi secara otak, doa, semua harus terlibat, karena ini untuk kita semua," tegas Opung Jafaris.
Muara hari-hari ini mengamalkan kembali peribahasa Batak, arga do bona ni pinasa yang artinya tanah leluhur bernilai tinggi, dan apa lagi yang bisa dilakukan untuk menjaga nilai tanah leluhur selain melestarikan tradisi yang dimiliki?
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018