Banda Aceh (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menuding Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias telah memberikan efek domino yang besar terhadap kehancuran lingkungan (ekologi) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). "BRR Aceh-Nias telah memberikan efek domino yang besar terhadap kehancuran ekologi di Aceh sebab proyek-proyek yang didanai BRR kerap mengabaikan status kawasan yang dilindungi," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Bambang Antariksa, di Banda Aceh, Sabtu. Bambang menilai BRR merupakan lembaga yang tidak mempunyai visi dan strategi implementasi terhadap kelangsungan ekologi sehingga mengancam ribuan nyawa manusia. Dengan anggaran yang dimilikinya BRR telah menjadikan lembaga tersebut sebagai self driver pembangunan di Aceh. Contohnya, pembangunan Mako Sat Brimob di Taman hutan raya Pocut Meurah Intan Seulawah, pembukaan jalan Jantho menuju Keumala yang melintasi kawasan cagar alam, pembangunan ruas jalan Ladia Galaska, yang semuanya itu melanggar etika ekologi dan kebijakan yang dibuat negara. Walhi Aceh juga mempertanyakan komitmen Pemerintah Daerah yang telah mengagendakan investasi di perkebunanan, tambang dan industri skala besar. Padahal agenda-agenda tersebut sangat berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang tentunya juga sangat bertolak belakang dengan cita-cita mewujudkan Aceh hijau yang berpihak kepada rakyat. Di luar kerusakan itu, letak wilayah Aceh yang berada dalam posisi tekanan akibat pertemuan dua lempeng eurasia dan indoaustralia sebagai bentuk gerakan dinamis bumi menjadikan daerah tersebut memiliki ancaman bencana yang sangat tinggi. Secara klimatologis, Aceh juga sangat rawan terhadap ancaman bencana alam global yang dipengaruhi letaknya yang ada di ujung Selat Malaka serta posisi yang sangat terbuka dari wilayah barat samudera Indonesia. Kerusakan lingkungan di provinsi paling ujung pulau Sumatera itu juga diikuti kerusakan visi dan implementasi lembaga pelayanan publik dan lembaga legislatif, sehingga tidak ada sebuah kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi atau meminimalisasi kerusakan hutan dan DAS seperti yang terjadi selama ini. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007