Jakarta (ANTARA News) - KPK kembali menetapkan satu tersangka suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait pengadaan satelit pemantauan di Badan Keamanan Laut.

"Setelah melakukan proses pengumpulan informasi, data, dan mencermati fakta persidangan, KPK membuka penyelidikan baru dalam kasus itu," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.

KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan dan menetapkan lagi seorang sebagai tersangka, yaitu Manager Director PT Rohde & Schwarz, Erwin Sya'af Arief.

Ia diduga secara bersama-sama atau membantu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara.

"Dengan maksud supaya penyelenggara negara itu berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya terkait proses pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN-P TA 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla," kata Diansyah.

Penyidik KPK mendapatkan fakta-fakta didukung alat bukti berupa keterangan saksi, surat, barang elektronik, dan fakta persidangan bahwa Arief diduga membantu Fahmi Darmawansah selaku direktur PT Merial Esa memberikan suap kepada Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR periode 2014-2019.

"ESY diduga bertindak sebagai perantara antara Fahmi dan Fayakhun dengan mengirimkan rekening yang digunakan untuk menerima suap dan mengirimkan bukti transfer dari Fahmi ke Fayakhun," kata dia.

Jumlah uang suap yang diduga diterima Andriadi dari Darmawansyah adalah sebesar 911.480 dolar Singapura atau sekitar Rp12 miliar yang dikirim secara bertahap sebanyak empat kali melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, China.

"Uang suap tersebut diduga diberikan sebagai fee atas penambahan anggaran untuk Bakamla pada APBN-P 2016 sebesar Rp1,5 triliun. Peran Fayakhun adalah mengawal agar pengusulan APBN P untuk Bakamla disetujui DPR," ucap Diansyah.

Diduga, kata dia, kepentingan Arief membantu adalah apabila dana APBN P 2016 untuk Bakamla disetujui, maka akan ada yang dianggarkan untuk pengadaan satelit monitoring yang akan dibeli dari PT Rohde & Schwarz Indonesia.

Perkara ini bermula dari operasi tangkap tangan terhadap Hardy Stefanus clan Muhammad Adami Okta sesaat setelah menverahkan uang kepada Eko Susilo Hadi selaku deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja sama Bakamla.

Arief tersangka ketujuh dalam kasus ini.

Keenam tersangka lain adalah Hadi (13 Juli 2017 dijatuhi vonis penjara empat tahun dan 3 bulan dan denda Rp200 juta), Darmawansyah (22 Mei 2017 divonis penjara dua tahun dan delapan bulan dan denda Rp150 juta), Hardy Stefanus (swasta, 17 Mei 2017 divonis penjara satu tahun dan enam bulan dan denda Rp100juta), dan Okta (swasta, 17 Mei 2017 divonis penjara satu tahun dan enam bulan dan denda Rp100 juta).

Lalu Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Badan Keamanan Laut, Nofel Hasan (8 Maret 2018 divonis penjara empat tahun dan denda Rp200 juta), dan Andriadi (21 November 2018 divonis penjara delapan tahun dan denda Rp1 miliar).

Ia masih diganjar hukuman tambahan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun yang dihitung sejak terdakwa selesai menjalani pokok pidana.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018