Menyatakan bantahan adalah hak pemerintah China. Di lain pihak, diplomasi kemanusiaan Indonesia yang selalu dikedepankan dalam mengatasi konflik kemanusiaan diharapkan bisa diwujudkan dalam aksi yang lebih nyata untuk membela dan melindungi Muslim Ui

Jakarta (ANTARA News) - Di hadapan sekitar 1.000 mahasiswa di kampus Universitas Padjajaran Bandung pada suatu diskusi dimana Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengungkapkan berbagai upaya yang dilakukan Indonesia dalam penjagaan perdamaian dunia.

Dia menekankan bahwa bagi Indonesia diplomasi perdamaian dan diplomasi kemanusiaan dua prioritas diplomasi Indonesia di luar negeri di tengah situasi dunia yang semakin tidak menentu.

"Perdamaian tidak datang dari langit. Perdamaian harus diupayakan dan dirawat. Sementara itu, perbedaan adalah kodrat. Untuk itu, pengingkaran terhadap perbedaan adalah pengingkaran terhadap kodrat," ujar dia.

Menlu Marsudi benar bahwa situasi dunia kian tak menentu. Apalagi dengan adanya para penguasa yang bisa dengan sesukanya merampas kebebasan dan kemerdekaan hidup kelompok masyarakat tertentu yang secara sepihak dianggap sebagai ancaman.

Pernyataan Menlu Marsudi juga patut disetujui bahwa perbedaan adalah keniscayaan hidup yang tidak boleh diingkari, bahkan harus dihormati demi menjaga perdamaian dunia.

Salah satu perbedaan di dalam masyarakat seperti yang disebutkan oleh Menlu Retno adalah keberadaan sekitar 11 juta Muslim dari Suku Uighur yang mendiami Provinsi Xinjiang di ujung barat China.

Berbeda dari mayoritas masyarakat di negeri Tirai Bambu, Muslim Uighur berasal dari etnis Turki dan merupakan kelompok minoritas di China.


Beberapa ruas jalan di Mega Kuningan ditutup jelang Aksi Bela Uighur di depan Kedutaan Besar China, Jalan Mega Kuningan No.2, Jakarta Selatan, Jumat (21/12). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)

Namun, dengan dalih mencegah penyebaran ideologi radikal di kalangan masyarakat Uighur yang dituduh ingin memisahkan diri dari China, pemerintah Xi Jinping telah mengingkari keberadaan mereka yang berbeda etnis dan agama dari mayoritas penduduk China dengan membangun kamp-kamp penahanan khusus bagi Muslim Uighur.

Konsul Jenderal China di Surabaya Gu Jingqi mengatakan persoalan yang dialami Suku Uighur merupakan masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat.

"Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar sepuluh juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari RRT. Itu yang kami, pemerintah China, atasi," kata Jingqi.

Dia beranggapan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di China.

Namun, organisasi hak asasi manusi internasional Human Rights Watch melaporkan hal yang berbeda dengan pernyataan perwakilan pemerintah China tersebut.

Organisasi itu menyebutkan bahwa masyarakat Uighur dipantau sangat ketat, bahkan harus memberikan sampel biometrik dan DNA.

Menurut sejumlah aktivis HAM dan berdasarkan pengakuan masyarakat Uighur yang telah beredar luas di berbagai media, mereka yang dimasukkan dalam kamp-kamp rahasia itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan diarahkan untuk mengecam, bahkan meninggalkan agama mereka.

Sementara itu, hasil investigasi BBC mengidentifikasi kamp-kamp rahasia tersebut sebagai salah satu pusat penahanan terbesar di dunia.

Satu juta Muslim dari komunitas Uighur diperkirakan ditahan tanpa pengadilan di Xinjiang serta mengalami pelecehan dan penghinaan.


Ketua GNPF Ulama, M. Yusuf Martak ketika ditemui di depan Gedung Kedubes China untuk Indonesia, Jakarta Selatan pada hari Jumat (21/12/2018). (Antara/Tessa Qurrata)


Diplomasi kemanusiaan

Pada jumpa pers di Washington, Amerika Serikat, 278 akademisi dari berbagai disiplin ilmu dari puluhan negara menyerukan China untuk mengakhiri kebijakan penahanan atas Muslim Uighur.

Mereka juga menuntut sanksi kepada para pemimpin China dan perusahaan keamanan yang terlibat dalam penindasan atas masyarakat minoritas itu.

Sementara, Kanada telah secara terbuka menuduh China menindas kaum Muslim di tengah pemburukan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia masih menunggu laporan Duta Besar Indonesia untuk China, Djauhari Oratmangun, terkait dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di Provinsi Xinjiang.

"Menlu sudah memanggil Dubes China untuk menyampaikan keprihatinan pemerintah, kemudian telah memerintahkan dubes kita di Beijing untuk melihat keadaan sebenarnya di Xinjiang, untuk melaporkan segera. Pemerintah menyampaikan sikapnya setelah dua hal ini dikemukakan," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sambil menunggu keterangan tersebut, Wapres Kalla mengatakan Pemerintah Indonesia telah menyampaikan keprihatinan melalui Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian.

Dalam masa tunggu yang waktunya tak bisa dipastikan itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mendesak pemerintah untuk bersikap tegas dan jelas dalam membela etnis Uighur di Xinjiang.

"Dari laporan yang dikeluarkan lembaga dan institusi internasional, penindasan dan perlakuan diskriminatif pemerintah China terhadap Muslim Uighur sudah berlangsung lama," ujar Fadli Zon dalam diskusi di Jakarta.


Anak-anak memegang poster berisi dugaan pelanggaran HAM yang menimpa Muslim Uighur, Xinjiang, China di sekitar Kedubes China, Jaksel, Jumat (21/12/2018). (Antara/Tessa Qurrata Aini)


Muslim Uighur berada di wilayah kedaulatan China sehingga isu yang berkaitan dengan keberadaan mereka bisa diterima sebagai masalah dalam negeri pemerintahan Xi Jinping.

Tapi, penindasan hak-hak asasi manusia serta pencabutan kebebasan dan kemerdekaan dalam memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dengan aman dan damai, adalah masalah universal yang harus dikecam dan dihentikan oleh siapa pun.

Menurut Fadli Zon, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia harus berani bersuara lantang untuk menghentikan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Muslim Uighur di China.

"Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap jelas, tegas, dan tidak boleh tinggal diam atas apa yang terjadi di Xinjiang karena bangsa ini menganut prinsip politik bebas aktif," tegas dia.

Politik luar negeri yang bebas harusnya tidak mengikat Indonesia untuk berpihak pada kekuatan mana pun, kecuali membela kebenaran dan melawan segala tindakan yang mengancam kebebasan hidup manusia.

Politik luar negeri Indonesia yang aktif harus mendorong Indonesia untuk mengambil sikap tegas dalam mengatasi konflik kemanusiaan dalam waktu cepat.

Seperti yang telah ditegaskan oleh Menlu Retno bahwa perdamaian tak mungkin jatuh dari langit melainkan harus diupayakan, maka peran Indonesia dalam menyikapi penindasan HAM atas Muslim Uighur tidak bisa hanya dalam bentuk pertemuan dan diskusi dengan para pejabat China yang akan selalu membantah tindakan tersebut demi menjaga keutuhan dalam negeri.

Menyatakan bantahan adalah hak pemerintah China. Di lain pihak, diplomasi kemanusiaan Indonesia yang selalu dikedepankan dalam mengatasi konflik kemanusiaan diharapkan bisa diwujudkan dalam aksi yang lebih nyata untuk membela dan melindungi Muslim Uighur.*


Baca juga: Massa tuntut pelanggaran HAM Muslim Uighur dihentikan

Baca juga: Massa aksi bela Uighur salat Asar di jalan

Baca juga: Massa aksi 2112 galang dana untuk muslim Uighur

Pewarta: Libertina W. Ambari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018