“Saya ini bolak-balik sakit maag sejak duduk di bangku SMA pada tahun 1967. Saya biasanya muntah-muntah. Tapi, maag saya semakin parah di tahun 2016. Setelah didiagnosis oleh dokter, ternyata saya terkena kanker stadium 2 yang mendekati 3.2 B,” ungkap Susie saat ditemui dalam acara Cancer Information and Support Center (CISC) di Jakarta, Kamis.
Ketika itu tahun 1973, sambungnya, sedang tren mi instan. Dirinya mengaku bahwa intesitas mengonsumsi mi instan meningkat sejak dirinya menikah pada tahun 1975.
“Saya makan mi instan itu bisa empat kali dalam sebulan. Dan saya ini juga suka pedas. Jadi, makan mi instan ditambahkan potongan cabe,” ujar Susie.
Dua tahun lalu, lanjutnya, tepatnya Juli tahun 2016, dirinya menjalankan terapi.
“Begitu ditemukan kelainan dalam usus saya, langsung dioperasi oleh dokter. Setelah itu, saya melakukan kemo yang dimulai dari Agustus tahun 2016 hingga Januari tahun 2017. Total proses cure itu adalah enam kali kemoterapi. Dan Ca (cancer) marker atau penanda kanker saya yang tadinya 2 lebih sekarang menjadi 1,3 lebih,” tutur Susie.
Ca marker atau penanda kanker jika semakin rendah itu semakin baik. Bahkan, jika angkanya mendekati nol berarti kankernya sudah tidak terdeteksi lagi. Maka, pengobatan yang dilakukan itu efektif.
Saat ini, sambungnya, dirinya hidp seperti biasanya dan menikmati hidup.
“Saat ini saya lebih banyak mengonsumsi protein hewani dari ikan karena saya penyuka ikan. Selain itu, saya juga makan tahu dan tempe. Saya juga banyak mengonsumsi makanan yang dengan kandungan antioksidan tinggi,” ujarnya.
Baca juga: Konsumsi mi instan berlebih memicu risiko kanker
Baca juga: Pakar sarankan hindari mi instan saat hamil
Pewarta: Anggarini Paramita
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2018