Jakarta (ANTARA News) - Industri permesinan di dalam negeri perlu direstrukturisasi mengingat kondisi alat produksinya sudah tua karena industri tersebut mulai masuk dan berkembang pada 1980-an. "Industri mesin harus mulai peremajaan mesin-mesin yang ada. Jangan sudah ambruk seperti TPT (tekstil dan produk tekstil) baru ribu meremajakan mesin," kata Ketua Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA), A Safiun, di Jakarta, Kamis. Ia menjelaskan industri mesin di Indonesia mulai masuk dan berkembang pada1980-an untuk mendukung program tinggal landas yang dicanangkan Pemerintah Orde Baru. Dengan demikian, kata dia, peralatan produksi industri permesinan di Indonesia sudah banyak yang tua karena usianya sudah mencapai 32 tahun, sehingga perlu direstrukturisasi. Restrukturisasi itu, kata dia, dinilai penting untuk meningkatkan daya saing produk permesinan nasional, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. "Umur mesin-mesin itu sejak 1980-an sudah 32 tahun. Mesin-mesin itu membutuhkan tenaga besar dibandingkan mesin baru yang produktifitasnya tinggi dan tingkat cacatnya sangat rendah," katanya. Apalagi kini pemerintah menetapkan proyek yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menggunakan komponen dalam negeri pada tingkat tertentu yang dihitung berdasarkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Tanpa bantuan restrukturisasi alat produksi, ia pesimis industri permesinan di dalam negeri mampu mendulang peluang dari kebijakan TKDN tersebut. "Sekarang pemerintah mengajurkan investasi, tapi pemerintah belum melakukan perubahan signifikan untuk menciptakan iklim sektor riil yang sehat," katanya. Ia mencontohkan, misalnya suku bunga pinjaman masih tinggi berkisar antara 11-12 persen, meskipun SBI sudah 8,25 persen. Sedangkan negara pesaing seperti Malaysia dan Singapura, bunga pinjamannya hanya delapan persen. "Kita kalah dari sisi perbankan. Di sisi lain juga demikian seperti infrastruktur dengan pelabuhan yang selalu macet, (biaya) energi yang naik terus, dan listrik yang `byar pet` (sering padam). Kalau hal itu tidak diperbaiki, kecenderungan penurunan suku bunga bank, tidak berpengaruh," katanya. Oleh karena itu, Safiun menilai sebelum pemerintah menerapkan kebijakan yang mencoba mendukung sektor industri dalam negeri, iklim dan peremajaan industri yang dinilai penting dan menjadi basis perkuatan struktur industri nasional juga harus dibantu pemerintah terlebih dahulu. Sementara itu data Departemen Perindustrian (Depperin) pada 2006 nilai impor mesin di Indonesia mencapai 7,091 miliar dolar AS, sedangkan kemampuan ekspor mesin pada tahun yang sama hanya 2,485 miliar dolar AS. Setiap tahun rata-rata pertumbuhan impor mesin sebagai barang modal di Indonesia meningkat di atas 10 persen, karena banyak mesin yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Pada 2002 impor mesin baru mencapai 4,241 miliar AS naik menjadi 7,091 miliar dolar AS pada 2006. Sedangkan kemampuan ekspor permesinan nasional, kendati tumbuh lebih tinggi sebesar 18,19 persen per tahun dalam lima tahun ini, jumlahnya masih lebih kecil dari sekitar 1,216 miliar pada 2002 menjadi 2,485 miliar dolar AS pada 2006.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007