Jakarta (ANTARA News) - Uang sisa biaya perkara yang seharusnya dikembalikan kepada pihak berperkara diduga bertumpuk di pengadilan dan para advokat mengaku tidak pernah mengambil sisa uang tersebut.Sejumlah advokat yang dihubungi ANTARA News di Jakarta, Kamis, juga mengaku mereka tidak pernah diberi informasi oleh pihak pengadilan bahwa ada sisa uang perkara yang dapat diambil. Advokat Wirawan Adnan yang telah berpraktik hukum selama belasan tahun mengaku sekali pun belum pernah mengambil sisa uang perkara di pengadilan. "Kita sekali berperkara di pengadilan bisa bayar Rp1 juta hingga Rp2 juta, tetapi biaya perkara yang terpakai dan tercantum dalam salinan putusan tidak sebanding, tidak semahal itu," jelasnya. Menurut dia, pihak advokat tidak pernah diberi informasi oleh pihak pengadilan bahwa ada sisa uang perkara yang dapat diambil. "Kita anggapnya itu bukan panjar atau uang muka, tetapi memang biaya yang harus dibayar dan kita anggap itu uang hilang," ujarnya. Hal senada dikatakan oleh advokat Firman Wijaya. Firman mengatakan ia sama sekali tidak tahu ada uang sisa perkara yang bisa diambil setelah selesai berperkara. Bahkan, ia mengaku tidak pernah tahu biaya perkara itu digunakan untuk keperluan apa. "Kita tidak pernah tahu itu uang buat apa, tidak ngerti juga kalau ternyata ada sisa, karena juga tidak pernah diberi tahu," katanya. Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Cicut Soetiarso, ketika dikonfirmasi soal bertumpuknya sisa uang berperkara di pengadilan mengatakan tidak tahu tentang masalah tersebut. Cicut mengatakan, uang sisa perkara sebenarnya bisa diambil oleh pihak yang berperkara. "Jadi, salah mereka kalau tidak mengambil. Kalau mereka tidak tahu, kenapa tidak bertanya," ujarnya. Sebaliknya, Cicut mengatakan, banyak biaya perkara yang justru dibayarkan kurang oleh pihak yang berperkara. "Ada juga yang biayanya kurang di tengah jalan, tetapi tidak pernah datang untuk menambah saat dipanggil," katanya. Cicut tidak mengijinkan wartawan untuk melihat buku jurnal pengelolaan biaya perkara yang mencatat penerimaan serta pengeluaraan pengadilan dari biaya perkara yang disetorkan oleh pihak berperkara. "Hanya pengawas yang bisa melihat itu," ujarnya. Namun, Ketua PN Jakarta Selatan, Andi Samsan Nganro terbuka untuk merinci aliran penerimaan dan pengeluaran pengadilan dari biaya perkara yang disetorkan pihak berperkara. Sesuai penetapan Ketua PN Jakarta Selatan yang menjabat sebelumnya, Soedarto, yang dikeluarkan pada 1 September 2004, biaya perkara perdata di PN Jakarta Selatan ditetapkan Rp247 ribu, sedangkan untuk gugatan biasa dikenakan biaya Rp417 ribu dengan penambahan Rp135.000 untuk setiap penambahan pihak tergugat. Dalam perkara tanah, jumlah itu ditambah Rp1 juta untuk pemeriksaan setempat dan Rp1,5 juta untuk panggilan pemberitahuan melalui iklan. "Jumlahnya untuk Jakarta ini ditentukan seragam," kata Andi. Untuk perkara banding yang didaftarkan dan dibayar biaya perkaranya di pengadilan negeri asal, pihak berperkara dikenakan tarif Rp750 ribu, dengan biaya yang dikirim ke pengadilan tinggi sebesar Rp300 ribu. Untuk perkara kasasi, biaya yang dikenakan sebesar Rp950ribu dengan biaya yang dikirim ke MA sebesar Rp500ribu. Biaya pengiriman berkas dari PN di Jakarta ke MA diambil oleh biaya dari PN sebesar Rp178ribu. Sedangkan biaya perkara tingkat Peninjauan Kembali yang dibayarkan di PN senilai Rp3,1 juta dengan nilai Rp2,5 juta yang dikirim ke MA. Biaya perkara perdata yang berlaku di PN seluruh Jakarta itu bisa jadi berbeda dengan biaya yang ditentukan di daerah lain, sesuai dengan kondisi masing-masing. Suatu PN di daerah terpencil bisa jadi menentukan biaya perkara yang lebih mahal untuk tingkat kasasi karena ongkos kirim berkasnya lebih mahal. Andi membantah bahwa pihak yang berperkara tidak pernah tahu tentang adanya uang sisa perkara yang bisa diambil.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007