Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) enggan menanggapi langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melaporkan pimpinan Mahkamah Agung (MA) ke Mabes Polri karena pengelolaan biaya perkara yang tidak bersedia diaudit.
"Ini Bulan Puasa. Kita baru mau komentar setelah Lebaran," ujar Juru bicara MA, Djoko Sarwoko di Gedung MA, Jakarta, Rabu.
Djoko mengatakan, saat ini MA masih mencari informasi soal laporan BPK ke Mabes Polri.
"Kita tidak mau emosional, ini kan belum jelas. Sampai saat ini, kita belum tahu siapa yang dilaporkan, siapa yang melaporkan, dan apa yang dilaporkan," tuturnya.
Djoko mengatakan, sampai saat ini tim yang dibentuk antara MA dan BPK untuk membahas pengelolaan biaya perkara masih bekerja.
MA, jelas dia, juga telah menyusun Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang dibahas bersama dengan BPK guna menentukan pengelolaan biaya perkara.
Djoko menyebutkan salah satu aturan yang tercantum dalam rancangan Perma itu adalah besarnya PNBP yang akan disetorkan ke kas negara.
"Kita pada dasarnya tidak keberatan menyetor ke kas negara. Hanya, harus jelas dulu payung hukumnya apa," ujarnya.
Djoko mengatakan dasar hukum MA untuk menarik biaya perkara adalah hukum acara perdata (HIR), sehingga jika ingin ada ketentuan bahwa harus ada besaran biaya perkara tertentu yang disetorkan ke negara, maka HIR itu harus diubah guna memasukkan ketentuan tersebut.
MA, menurut Djoko, menyambut baik keinginan MK yang hendak menjadi mediator antara MA dan BPK.
"Itu bagus, boleh saja. Tapi kalau sudah ketahuan ini masalah persepsi antara dua UU yang berbeda, maka hasilnya nanti sudah jelas apa," ujarnya.
Djoko mengatakan, MA mendasarkan penarikan biaya perkara pada hukum acara perdata, sedangkan BPK bersikeras ingin mengaudit pengelolaan biaya perkara karena kewenangan yang diberikan oleh UU No 13 Tahun 2003 tentang BPK dan UU No 17 Tahun 2003 tentang perbendaharaan negara.
"Dua-duanya jelas hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tapi, yang satu produk lama peninggalan Belanda, yang satu dibuat setelah reformasi. Tentu antara keduanya ada kesenjangan yang sangat jauh," jelasnya.
Djoko mempersilakan apabila pemerintah dan DPR berinisiatif untuk menjembatani kesenjangan lebar antara dua peraturan perundang-undangan tersebut.
Sementara itu, Ketua MA Bagir Manan sama sekali tidak mau berkomentar soal laporan BPK ke Mabes Polri.
"Saya sedang puasa, nanti saja habis lebaran," ujarnya singkat.
Perseteruan antara MA dan BPK soal biaya perkara bermula pada awal 2006 saat BPK menemukan adanya sembilan rekening atas nama MA cq Bagir Manan dalam LKPP 2005 sejumlah Rp7,45 miliar, terdiri atas empat rekening giro sejumlah Rp4,87 miliar dan lima rekening deposito sejumlah Rp2,58 miliar.
MA telah menegaskan bahwa rekening yang dipersoalkan oleh BPK itu adalah milik MA, bukan negara, yang berasal dari setoran biaya perkara dari pihak yang berperkara.
MA juga menyatakan sejak awal 2006, rekening-rekening itu tidak lagi atas nama Bagir Manan, namun atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Besarnya biaya perkara kasasi untuk perkara perdata umum ditentukan oleh Ketua MA Bagir Manan melalui SK No KMA/42/SK/III/2002 yang dikeluarkan pada 7 Maret 2002.
SK tersebut merupakan hasil rapat pimpinan MA pada 19 Februari 2002 yang menaikkan biaya perkara kasasi perdata umum, perdata agama, dan Tata Usaha Negara (TUN) dari Rp200.000 menjadi Rp500.000 yang berlaku sejak 1 April 2002.
Sedangkan biaya perkara perdata dan TUN untuk tingkat PK ditetapkan melalui SK No KMA/042/SK/VIII/2002 yang ditandatangani Bagir Manan pada 20 Agustus 2001. SK itu menaikkan biaya perkara dari Rp500.000 menjadi Rp2,5 juta untuk permohonan PK perdata umum, perdata agama, dan TUN yang mulai berlaku pada 1 September 2001.
Djoko Sarwoko mengatakan, pengelolaan biaya perkara itu selama ini diaudit secara internal oleh Badan Pengawasan MA yang memeriksa ke setiap daerah.
Setiap Ketua PN pun, lanjut dia, harus memeriksa administrasi keuangan di pengadilan masing-masing dan melaporkannya secara berjenjang ke pengadilan yang lebih tinggi di atasnya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007