Purwokerto (ANTARA News) - Indonesia memasuki tahun-tahun politik, gempita penyelenggaraan pesta demokrasi sudah di depan mata.
Selayaknya pesta, semakin banyak yang berpartisipasi tentu akan semakin meriah, begitupun dengan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres).
Salah satu hal yang menjadi fokus penyelenggara pemilu, adalah meningkatkan partisipasi pemilih pemula.
Pengamat Politik dari Universitas Jenderal Soedirman Luthfi Makhasin mengatakan pemilih pemula pada saat ini lebih dikenal dengan istilah pemilih milenial.
Dalam beberapa studi, kata dia, jenis pemilih ini memang biasanya cenderung tidak terlalu aktif dalam politik. Tapi studi yang sama menunjukkan mereka sangat melek informasi dari sosial media.
Karena itu, penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi dengan cara yang kreatif dan inovatif untuk menjaring partisipasi pemilih pemula.
Kendati demikian, kata dia, tingginya partisipasi masyarakat juga tergantung dari beberapa pihak dan faktor pendukung.
Misalkan, pertama, tim sukses masing-masing calon secara intensif ikut melakukan sosialisasi dan mendekati masyarakat. Kedua, parpol berperan aktif menyokong calon presiden (capres) koalisinya.
Ketiga, media berperan aktif dalam diseminasi informasi, dan keempat, penyelenggara pemilu bekerja profesional. Selain itu, yang kelima, tentu saja masyarakat antusias dengan figur dan program yang ditawarkan.
Baca juga: Hoaks politik banyak menyasar pemilih pemula
Baca juga: Pemuda agar pro-aktif daftar sebagai pemilih
Pemilih Milenial
Terkait hal tersebut, Kooordinator Program Studi S1 Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Mite Setiansah mengatakan banyak pendapat yang mengatakan bahwa generasi muda milenial cenderung apatis dan tidak peduli terhadap masalah politik.
Mereka dinilai banyak disibukkan dengan kesukaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan budaya populer seperti mode, musik, dan lain sebagainya.
Namun sesungguhnya, kaum milenial cukup memiliki perhatian dan partisipasi yang tinggi terhadap politik.
"Sebuah riset di tujuh negara di Eropa (EACEA) tahun 2013 menyebutkan bahwa generasi muda mampu mengemukakan preferensi dan minat mereka terhadap politik, bahkan dalam beberapa hal mereka lebih aktif dibanding sebagian generasi yang lebih tua," katanya.
Hanya saja bentuk partisipasi milenial dilakukan secara berbeda. Mereka menyatakan preferensi politiknya melalui beragam cara, khususnya dengan menggunakan media berbasis internet.
Dalam konteks Pilpres di Indonesia, pemilih muda milenial juga memiliki peran yang signifikan.
Jumlah mereka layak untuk diperhitungkan. Minat pemilih pemula untuk berpartisipasi dalam pilpres pun cukup tinggi dan pengalaman terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan untuk pertama kalinya tentu dapat menimbulkan perasaan gembira tersendiri bagi mereka.
Namun, menurut doktor jurusan ilmu komunikasi tersebut, pemilih pemula milenial memang memiliki beberapa perbedaan dengan pemilih pemula generasi sebelumnya.
"Jika dulu karena keterbatasan akses terhadap informasi mereka lebih mudah digiring pada salah satu calon atau sebaliknya lebih banyak yang golput karena tidak paham, maka kini pemilih pemula milenial memiliki lebih banyak peluang untuk mendapatkan informasi lebih banyak," katanya.
Dia menambahkan, pemilih pemula milenial, umumnya aktif dalam pencarian informasi. Namun kebanyakan dari mereka lebih suka mengakses informasi dari media-media yang bersifat user generated content atau konten yang dihasilkan oleh pengguna.
"Hal itu sangat jelas terlihat dalam kultur pengambilan keputusan pada kelompok milenial. Sebagai contoh, sebelum membeli sesuatu mereka akan mencari ulasan produk yang mereka cari di aplikasi youtube. Semakin banyak ulasan positif maka mereka akan lebih mungkin untuk menjatuhkan pilihan, dibanding sekedar melihat iklan di TV atau media lain," katanya.
Jadi, dalam hal meningkatkan minat pemilih pemula milenial ini, pemahaman terhadap karakteristik milenial itu sendiri harus diperhatikan.
Generasi tersebut umumnya mengikuti informasi, namun terkadang jarang bersentuhan dengan media massa arus utama.
"Media online seperti line, whatsapp, twitter, Instagram, youtube, lebih lekat dengan keseharian mereka dibanding surat kabar atau televisi. Maka membuat konten atau postingan kreatif di media sosial akan lebih mengena untuk pemilih pemula milenial," katanya.
Penyelenggara Pemilu, misalnya, juga bisa membuat semacam ulasan terhadap calon yang dikemas ringan dan ditayangkan di youtube.
Konten-konten yang diproduksi KPU, juga dapat berperan untuk memastikan bahwa informasi yang didapat para pemilih pemula di internet adalah informasi yang benar.
Pasalnya, kelimpahan informasi yang tersedia, peluang berubahnya peran pengguna menjadi produser di media internet, dikhawatirkan juga berpeluang menghadirkan berita dan informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Ia mengkhawatirkan pemilih pemula tidak benar-benar tahu siapa yang telah memproduksi konten di media sosial yang mereka ikuti.
Dengan demikian, untuk menjaring pemilih pemula milenial, maka yang harus dilakukan adalah mempelajari karakteristik mereka, kesukaan mereka, preferensi mereka, kemudian penuhi kebutuhan mereka dengan cara yang sesuai dengan kultur milenial mereka.
Berbagai cara kreatif dan kekinian yang dilakukan penyelenggara pemilu, atau pihak terkait lainnya, tentu akan berperan penting dalam meningkatkan partisipasi pemilih pemula pada pemilu dan pilpres tahun 2019.
Semakin banyak partisipasi masyarakat dalam pemilihan, tentu menjadikan gegap gempita pesta demokrasi menjadi makin meriah.
Baca juga: KPU diminta intensifkan sosialisasi kepada pemilih pemula
Baca juga: KPU Banjarnegara intensifkan sosialisasi bagi pemilih pemula
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2018