Mataram (ANTARA News) - Bagi warga Pulau Lombok, nama Hutan Pusuk sudah tidak asing lagi. Hutan Pusuk merupakan jalan singkat dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram ke Pamenang, Kabupaten Lombok Utara.

Setidaknya bisa mempersingkat waktu 30 menit ketimbang mengikuti jalan memutar ke Senggigi, Kabupaten Lombok Barat yang didominasi pemandangan pantai.

Jalan yang berkelok-kelok membelah punggungan perbukitan menjadi ciri khas Jalan Hutan Pusuk yang dalam Bahasa Sasaknya, puncak.

Jalan itu juga membelah kerimbunan pepohonan dengan sesekali di kiri kanan jalan, terlihat satwa primata monyet bergerombol.

Selepas dari Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, jalan mulai menanjak dan tepat di sebelah kanan jalan, jurang dengan dasar sungai kering yang penuh bebatuan. Diperlukan kehati-hatian dalam melintasi jalan itu.

Tepat di puncaknya yang memiliki ketinggian sekitar 1.000 Meter di atas permukaan laut (Mdpl), pengguna kendaraan bisa bersantai-santai atau beristirahat.

Bahkan melihat pemandangan terbuka dengan bukit-bukit di bawahnya yang menyerupai amphitheatre.

Romusha

Namun siapa sangka jalanan yang dilalui oleh pengguna kendaraan baik roda dua maupun roda empat itu ternyata merupakan hasil karya anak bangsa di masa lalu yang menjadi pekerja paksa (romusha) pada zaman penjajahan Jepang di Pulau Lombok.

Hal itu diketahui dari keterangan Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar, yang menyampaikan kabar dari para leluhur, bahwa jalan raya Hutan Pusuk itu merupakan hasil keringat para pekerja paksa.

"Dari cerita para orang tua dahulu, Hutan Pusuk itu dibangun oleh para pekerja paksa," katanya.

Bupati Lombok Utara menyebutkan Kabupaten Lombok Utara memiliki banyak bangunan bersejarah lainnya, seperti misalnya Gua Jepang di Pulau Gili Trawangan.

Di Gili Trawangan terdapat gua yang bisa dikembangkan menjadi objek wisata untuk para wisatawan, katanya.

Ia menyebutkan Gua Jepang di Gili Trawangan nantinya akan ditata kembali dan dilihat lebih mendalam kondisinya. "Itu bangunan yang teramat penting sebagai peninggalan sejarah," katanya.

Tercatat terdapat empat gua peninggalan Jepang di pulau yang menjadi destinasi terpopuler di Pulau Lombok itu.

Sekilas pandangan mata, di gua pertama terdapat satu pegangan meriam namun meriamnya sendiri sudah tidak ada. Sedangkan di gua Jepang II, terlihat pembangunan di masa lalu yang belum selesai.

Demikian pula halnya gua Jepang III yang ditandai banyaknya batuan berserakan. Sedangkan gua IV kondisinya lebih memprihatinkan karena terlihat jejak longsoran.

Menurut informasi masyarakat, dahulu di gua ini terdapat pegangan meriam komplit dengan meriamnya. Saat ini pegangan meriam tersebut sudah dipindahkan ke Masjid Baitul Rahman Gili Trawangan yang diletakkan di halaman depan Masjid, sedangkan meriamnya terjatuh ke bawah bukit.

Selain peninggalan gua dan meriam, terdapat beberapa peninggalan bersejarah lainnya dari zaman penjajahan Jepang yang bisa ditemukan di kawasan ini, antara lain benteng dan gudang penyimpanan beras yang masih bisa disaksikan hingga saat ini.

Hadapi Sekutu

Memang masuk akal jika penjajah Jepang berupaya membangun ruas jalan di daerah itu untuk memperkuat jalur pertahanannya di Pulau Lombok, karena di masa itu Jepang memang harus menghadapi sejumlah negara yang bergabung dalam pasukan sekutu.

Sehingga tidak aneh di Pulau Lombok, banyak ditemukan gua-gua dan bungker.

Angkatan Laut Jepang mendarat di Pantai Ampenan pada 18 Mei 1942, disusul Angkatan Darat Jepang pada 12 Mei 1942 di Labuan Haji.

Datangnya pasukan Jepang menandai berakhirnya penjajahan Belanda yang bercokol di Pulau Lombok sejak 1894 melalui suatu ekspedisi pascapenaklukan Kerajaan Karangasem.

Buku Studi Sejarah dan Budaya Lombok mencatat lokasi yang dibangun Jepang di Lombok antara lain, di Tanjung Ringgit, Lembar, Lendang Marang, Rambang, Bangko-Bangko, Labuan Lombok, dan Gili Trawangan.

Gua Jepang di Tanjung Ringgit, Kabupaten Lombok Timur sendiri sampai sekarang masih ada, yang lokasinya tidak jauh dari objek wisata Pantai Wisata Pink yang harus melalui kawasan Hutan Sekaroh.

Ketika menjajah Indonesia, Lombok termasuk jadi wilayah yang dijadikan markas pertahanan menangkal serangan musuh sekaligus menjadikan penduduknya sebagai budak.

Selain orang dewasa, pengarang Buku Studi Sejarah dan Budaya Lombok, Sudirman, menyebut, anak-anak juga dikerahkan untuk kerja bakti (kinrohosi). Maka tak heranlah kebencian rakyat terhadap penjajah Jepang semakin besar, dan setiap orang berharap-harap Jepang segera dikalahkan sekutu.

Pada 26 September 1945, Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, dan Bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.

Baca juga: Petani Aceh Besar temukan bom peninggalan Jepang
Baca juga: Jepang donasikan Rp5.2 miliar untuk pemulihan pascagempa Lombok

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018