Brisbane (ANTARA News) - Perang melawan terorisme Amerika Serikat (AS) telah menghabiskan dana sekitar 600 miliar dolar AS sejak dideklarasikan Presiden George W. Bush tidak lama setelah terjadinya insiden serangan 11 September 2001 di negaranya namun tidak sebanding dengan hasil yang dicapai. "Hasil perang melawan terorisme AS itu sangat mengkhawatirkan. Mullah Omar (pimpinan Taliban) masih hidup dan mungkin saat ini sedang mengendarai sepedanya. Osama bin Laden pun begitu," kata Pemimpin Redaksi Suratkabar "Al Quds-Al-Arabi", Abdel Bari-Atwan, di Brisbane, Rabu. Dengan kata lain, genderang perang melawan terorisme yang ditabuh Bush enam tahun lalu itu tidak mencapai "tujuannya", yakni tangkap atau bunuh orang-orang yang dianggap AS sebagai musuh nomor satunya itu, katanya di depan puluhan dosen, mahasiswa, dan pengamat masalah Timur Tengah yang menghadiri forum akademis Universitas Queensland (UQ) itu. Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, yang didukung penuh AS dan sekutunya bahkan tidak mampu "mengontrol seluruh wilayah Afghanistan", katanya. Abdel Bari-Atwan yang pernah mewawancarai Osama bin Laden di tempat persembunyiannya, Tora Bora, di Afghanistan tahun 1996 itu mengatakan, invasi AS dan sekutunya ke Irak 20 Maret 2003 justru memperluas pengaruh Al Qaida karena banyak orang yang frustrasi karena kebijakan invasi Bush itu. "Kini Al Qaida tumbuh menjadi organisasi yang datar dan longgar. Al Qaida tumbuh di London, Lebanon, Irak, dan Afrika Utara ... Artinya, kita sedang menyaksikan Al Qaida yang meluas," kata jurnalis dan penulis buku "The Secret History of Al Qaida" (Sejarah Rahasia Al Qaida) kelahiran Palestina itu. Tujuan AS mengenalkan demokrasi di Irak pun sulit tercapai karena lapisan kelas menengah negara itu hengkang dari negaranya pasca invasi. "Tidak akan ada demokrasi jika kelas menengah tak terbangun di sana... Yang terjadi justru invasi Irak menciptakan surga baru bagi Al Qaida," katanya. Abdel Bari-Atwan berada di Brisbane sejak akhir pekan lalu untuk menghadiri Festival Penulis Brisbane dan berbicara di forum akademik UQ. Namun kunjungannya ke Brisbane itu sempat terganggu oleh masalah visa sehingga media setempat sempat meributkan isu pencekalan Pemerintah Australia terhadap dirinya. Setelah media meributkan isu pencekalan terhadap Pemred suratkabar berbahasa Arab yang berbasis di London, Inggris, itu, Australia akhirnya mengeluarkan visa bagi dirinya. Wartawan Palestina yang pernah mewawancarai Osama bin Laden tahun 1996 itu meninggalkan Brisbane pada Rabu. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007