Jakarta (ANTARA News) - Ketidakpastian perekonomian dunia serta penguatan dolar AS secara global telah berdampak terhadap pasar keuangan sejumlah negara termasuk Indonesia.

Penguatan dolar AS akibat normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat sehingga memicu pengetatan likuiditas. Akibatnya, terjadi pembalikan dana dari pasar keuangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Jumat (14/9) berada di level Rp14.538 per dolar AS. Sementara pada akhir 2017, kurs rupiah di posisi Rp13.548 per dolar AS. Artinya, mata uang rupiah mengalami depresiasi sekitar 7,30 persen.

Namun, masih lebih bagus bila dibandingkan kinerja mata uang rupee India yang sudah terkoreksi sekitar 12 persen. Sementara mata uang Filipina terkoreksi sekitar 6,12 persen. Begitupun mata uang negara di kawasan Asia lainnya, seperti China terkoreksi 6,11 persen, Jepang 0,63 persen, dan Singapura 2,96 persen.

Sejumlah mata uang Asia mengalami pelemahan, hal itu karena investor menarik dana dari pasar saham maupun obligasi dan mengalihkan ke Amerika Serikat. Hal itu dikarenakan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikan tingkat suku bunganya.

Dengan suku bunga The Fed naik, maka dalam pandangan investor, investasi di Amerika Serikat menawarkan tingkat imbal hasil yang naik dengan risiko yang dianggap rendah.

Hal itu dikarenakan Amerika Serikat merupakan negara dengan perekonomian paling besar di dunia. Alhasil, permintaan dolar AS meningkat yang akhirnya menekan mayoritas mata uang dunia.

Meski nilai tukar rupiah mengalami tekanan, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kondusif atau jauh dari krisis ekonomi pada 1998 lalu.

Situasi tahun ini berbeda dengan saat krisis tahun 1998 lalu, salah satunya dapat dilihat dari cadangan devisa Indonesia, inflasi, dan peringkat utang Indonesia.

Besaran cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2018 ini sebesar 117,21 miliar dolar AS. Sementara inflasi November 2018 sebesar 3,23 persen, tetap terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2018 sebesar 3,5 persen deviasi 1 persen.
Sedangkan peringkat surat utang pemerintah pada 2018 ini berada di tingkat investment grade atau layak investasi.

"Maka itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena faktor yang menyebabkan pelemahan rupiah mayoritas berasal dari eksternal," ujar Pengamat pasar uang Bank Woori Saudara Indonesia Tbk, Rully Nova.

Ia mengatakan potensi rupiah untuk kembali menguat cukup terbuka seiring kenaikan harga minyak, yang otomatis menaikkan nilai impor. Ditambah aliran dana asing mulai masuk ke dalam negeri melalui instrumen obligasi maupun saham.
"Artinya, aktivitas ekonomi di dalam negeri bergerak cukup baik," ucapnya.

Kendati demikian, ia mengakui, faktor domestik yang menjadi perhatian pasar dan bisa menyebabkan tekanan pada rupiah yakni defisit transaksi berjalan (current Account Deficit/CAD).



Strategi Nabi Yusuf

Direktur Strategi Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menilai nilai tukar rupiah masih cukup rentan terkena koreksi mengingat Indonesia masih dibebani oleh defisit transaksi berjalan.

"Artinya, mesin penghasil dolar AS masih lemah. Saat ini rupiah masih terbantu oleh dana asing yang masuk ke dalam negeri," katanya.

Maka itu, ia menyarankan pemerintah Indonesia menerapkan strategi Nabi Yusuf, dimana untuk menjadi eksportir, bukan importir.

"Karena sebenarnya produk kita melimpah, maka seharusnya kita lebih banyak ekspor," katanya.

Bila ekspor Indonesia tinggi, lanjut dia, tentu akan mendapatkan valas (valuta asing), sehingga stabilitas nilai rupiah akan terjaga.
Budi Hikmat menilai kebijakan makro ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sejauh ini cukup bagus untuk mendukung stabilitas rupiah, salah satunya dengan menahan barang impor agar dapat mengurangi beban defisit neraca transaksi berjalan.

Sementara itu, Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan defisit transaksi berjalan relatif masih dalam kisaran aman yakni sekitar tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun ini.

"Defisit bisa menjadi hal yang positif apabila untuk tujuan produktif. Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur, itu merupakan investasi produktif yang dapat menghasilkan pendapatan di masa mendatang," katanya.



Makro ekonomi kuat

Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan menilai bahwa indikator makroekonomi Indonesia saat ini masih cukup kuat.
"Sejak tahun 2014, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik dan stabil," kata Fajar Hirawan yang juga Asisten Staf Khusus Presiden.

Selan itu, lanjut dia, inflasi Indonesia juga cukup terkendali. Rata-rata inflasi 2015-2018 sekitar 3,12 persen, sesuai dengan target pemerintah.

"Inflasi adalah fenomena kenaikan harga secara umum. Inflasi yang terjadi masih berada dalam target 3,5 persen plus minus 1 persen," katanya. "Optimis, potensi ekonomi Indonesia masih besar ke depannya," ucapnya.

Analis Valbury Asia Futures, Lukman Leong menambahkan pandangan dunia terhadap Indonesia juga relatif cukup baik, hal itu penting karena mempengaruhi ekspor-impor nasional.

"Indonesia cukup mampu menjaga hubungan baik dengan mitra dagang, itu turut menjadi faktor yang menjaga stablitas ekonomi nasional," ujarnya.

Sejumlah kebijakan yang telah dilakukan pemerintah, baik skala domestik maupun internasional diharapkan mampu menahan sentimen negatif dari ketidakpastian global seperti normalisasi kebijakan suku bunga the Fed maupun perang dagang.

Sedianya, kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah juga tentu akan memiliki kontribusi pada keberlanjutan stabilitas ekonomi Indonesia, salah satunya tercermin dari fluktuasi nilai tukar rupiah.*

Baca juga: Pergerakan rupiah tertahan perlambatan ekonomi China

Baca juga: Rupiah melemah jelang pertemuan FOMC


Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018