New York (ANTARA News) - Jean-Pierre Sagahutu dari Rwanda selalu saja ingin berkunjung ke New York, namun kini ia diliputi perasaan beragam karena dirinya berada di kota itu untuk membicarakan tentang sebuah film yang menggambarkan pemusnahan etnis (genosida) di negaranya pada 1994. Kebetulan Sagahutu juga terlibat dalam produksi film ini. Sagahutu adalah salah satu dari beberapa warga Rwanda yang selamat dari genosida dan menjadi kru film "Beyond the Gates", yang dibintangi John Hurt dan Hugh Dancy sebagai seorang pastor dan guru di sebuah sekolah, tempat 2.000 warga Tutsi dibantai setelah mundurnya pasukan PBB dari sana. "Saya selalu bermimpi datang ke AS, terutama New York. Kini saya di sini, tetapi saya di sini karena ada sejuta orang dibunuh di negara saya," katanya dalam wawancara sebelum rilis DVD film itu, Selasa. "Kalau saya datang untuk menonton konser jazz, itu tak apa-apa, namun saya ke mari untuk kisah yang mengerikan," katanya, setelah menceritakan bagaimana ia selama dua setengah bulan bersembunyi dalam lubang sumur untuk menyelamatkan diri dari genosida yang menewaskan sedikitnya 800.000 etnis Tutsi dan suku Hutu yang bersikap moderat. "Saya ingin datang, saya gembira sekali, namun pada saat yang sama ...saya harus membicarakan hal yang tak tertahankan," kata Sagahutu, yang dalam produksi film itu bertanggung jawab dalam urusan logistik. PBB dan negara-negara Barat dikecam akibat kegagalan mereka untuk campur tangan dan Rwanda sering disebut-sebut oleh mereka yang kini mendesak campur tangan internasional di kawasan Darfur, Sudan, tempat para pakar internasional menyatakan 200.000 orang telah tewas. "Bekerja di film itu baik karena film ini selaras dengan pesannya," katanya, yang kini berusia 40 tahunan. "Mereka akan berbicara dengan diri mereka, "kita tak mampu berbuat sesuatu, namun paling tidak kita tahu bahwa di negara kecil itu sejuta orang dibunuh". Ia menambahkan dirinya bukanlah politisi, namun ia sungguh heran "Bagaimana mungkin tiga atau empat tahun orang-orang sekarat seperti binatang di Darfur?" Jangan bunuh dengan parang Melukiskan bagaimana dirinya bisa bertahan hidup, Sagahutu menjelaskan seorang teman memberinya makanan tiga atau empat kali seminggu saat ia bersembunyi, namun ia kehilangan separuh bobot tubuhnya dan menghabiskan semua waktunya dalam gelap, tak dapat mengatakan jika hari telah siang atau malam. Ketika akhirnya ia muncul, dirinya hampir tak dapat berjalan ke jalan raya, tempat orang-orang bersenjata dalam sebuah pickup berpapasan dengannya. "Saya amemohon kepada mereka agar jangan dibunuh dengan parang," katanya, seperti dikutip Reuters. "Saya siap mati, namun bukan dengan parang, kata saya." Mereka ternyata para militan Tutsi yang membawanya ke tempat yang aman. (*)
Copyright © ANTARA 2007