Mataram (ANTARA News) - Di antara jajaran bangunan tua di Ampenan, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, terselip bangunan Kelenteng Pao Hwa Kong.
Bangunan itu menarik pandangan mata mereka yang melintasi ruas Jalan Pabean yang menghubungkan Pelabuhan Ampenan dengan kawasan Simpang Lima, karena bangunan itu didominasi warna merah serta adanya lampion yang seragam warnanya di bagian terdepan bangunan itu. Kontras dengan bangunan di sekitarnya, yang kusam karena dimakan usia.
Dari kelenteng itulah dapat dikatakan awal berdirinya komunal warga keturunan Tionghoa yang akrab dikenal dengan sebutan Pecinan dan menguasai bidang perniagaan di kawasan kota tua pada zaman "baheula".
Waktu pendirian rumah ibadah itu, tidak ada yang memastikan karena tiadanya catatan sejarah pendirian bangunan tersebut. Namun, berdasarkan riwayatnya yang diceritakan secara turun temurun, diperkirakan usianya saat ini sudah mencapai 120 tahun.
Jika dihitung mundur 120 tahun itu, berarti didirikan pada 1898. Atau dua tahun berselang setelah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun Pelabuhan Ampenan pada 1896 atau empat tahun setelah Belanda menaklukan Kerajaan Mataram pada 1894 yang terkenal dengan nama Ekspedisi Lombok.
Tapi, terkabar juga keturunan Tionghoa yang tiba di Lombok jauh sebelum berdirinya kelenteng tersebut, karena ada makam orang Tionghoa di Tanjung, Lombok Barat dan diperkirakan sudah ada berusia 130 tahun.
Kemungkinan mereka yang tiba di tanah Lombok itu, pertamanya ke Tanjung, namun kemudian bergeser ke Ampenan yang memiliki pelabuhan cukup besar saat itu.
"Perkiraan kita, rumah ibadah ini berdiri pada 120 tahun lalu," kata Ketua Ibadah Kelenteng Pao Hwa Kong, Andika Jayanata.
Cikal bakalnya Pecinan dari kelenteng tersebut, bisa disebut wajar karena biasanya orang Tionghoa itu, pada dahulu jika turun dari kapal atau mendarat maka pasti mendirikan tempat sembahyang.
Tidak lama kemudian satu persatu berdatangan ke Ampenan dan beribadah di tempat yang sama, hingga berdirilah Pecinan yang terletak tidak jauh dari kelenteng tersebut. Tepatnya di kawasan Simpang Lima.
Sampai sekarang, kawasan Simpang Lima dihuni oleh keturunan Tionghoa dengan bangunan khasnya seperti ruang tamu sempit, terdapat altar dan tempat penyimpanan dupa serta foto hitam putih dari orang tuanya atau leluhurnya yang sudah meninggal dunia.
Sebenarnya, kelenteng itu dimiliki oleh pribadi dengan patung dewa pertamanya, yakni, Tan Fu Chen. Kemudian, banyak orang yang melihat ada tempat sembahyang, maka mereka ikut bersembahyang.
"Ternyata banyak permohonan yang terkabul. Akhirnya mulailah ramai, kemudian didirikanlah rumah ibadah kecil-kecilan dan bertahan sampai sekarang," katanya.
Senada dikatakan Muhammad Shafwan menyebutkan sejak awal perkembangannya, orang-orang Tionghoa yang ada di Pulau Lombok, diperkirakan datang melalui Ampenan. Mereka datang dan menyewa tempat tinggal di orang-orang Arab dan Melayu.
"Tempat tinggal yang disewa tentulah tempat uang strategis untuk menjalankan bisnisnya yang dipinggir-pinggir jalan utama menuju pelabuhan. Awalnya mereka mulai dari berdagang kecil-kecilan," katanya dalam buku Ampenan Kota Tua.
Disebutkan, mereka menggelar barang kelontong di tempat tinggal yang sekaligus menjadi tempat berjualan, banyak juga dari warga Tionghoa yang kemudian memilih berjualan keliling dengan memikul dagangannya atau berkeliling menggunakan sepeda ke kampung-kampung.
Kepandaian mereka berdagang, kesabaran melayani pembeli. "Serta keuletan yang tidak kenal kata menyerah membuat komunitas Tionghoa kemudian lebih cepat melesat dalam bidang perdagangan," katanya.
Kerajaan Karangasem
Di dalam bangunan itu, patung dewa Tan Fu Chen berada di tengah-tengah dengan di depannya ada dua patung pengawal. Di Indonesia, kelenteng yang menggunakan patung dewa Tan Fu Chen hanya sembilan, di antaranya yang di Ampenan tersebut.
Empat ada di kelenteng Jawa Timur dan empat kelenteng sisanya di Bali. Setiap bulannya, tanggal 1 dan 15 kalender Imlek, warga keturunan Tionghoa bersembahnyang di tempat itu.
Kelenteng Pao Hwa Kong, merupakan kelenteng Tri Dharma yakni tempat ibadat untuk tiga agama, Konghucu, Tao dan Budha.
Bahkan perangkat yang digunakan untuk mendekatkan kepada yang di atas, seperti lilin yang menyimbolkan dapat mewangikan dunia serta memberikan terang di dunia atau pemberi semangat, bunga lambang mewangikan dunia karena semerbaknya, serta teh dan air dalam cawan untuk membersihkan yang kotor di dunia dan menghidupkan semua makhluk di dunia ini.
"Di hari sembahyang besar, ada juga buah-buahan, yang berarti hidup kita di dunia ini telah berhasil," katanya.
Bagi warga keturunan Tionghoa di Ampenan, mereka meyakini Tan Fu Chen itu berkaitan dengan Kelenteng Sam Po Kong, bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama Islam yang bernama Zheng He/Cheng Ho di Semarang, Jawa Tengah. Tan Fu Chen anak buah sang Laksamana itu.
Tan Fu Chen menjadi sebuah legenda yang bertahan sampai sekarang. Tan Fu Chen merupakan seorang tukang kayu yang diminta untuk membantu membangun Taman Ayun oleh Raja Karangasem kala itu.
Sebelumya sudah diupayakan oleh sang raja, untuk menghadirkan tukang kayu guna turut mewarnai taman kerajaan itu. Namun, tukang kayu yang ada itu selalu gagal. Hingga seorang prajurit mengetahui kehebatan Tan Fu Chen itu. Prajurit itu memberitahukan kepada sang raja.
Hingga akhirnya Tan Fu Chen dipanggil menghadap raja dan menyatakan kesanggupan mengerjakan permintaan membangun Taman Ayun itu. Setelah sekian lama, Tan Fu Chen itu tidak juga membangun seperti titah penguasa kerajaan kala itu.
Tentunya Raja Karangasem pun murka dan memanggilnya sembari disertai ancaman untuk segera menyelesaikan pekerjaan membangun Taman Ayun. "Dia (Raja) menegaskan bahwa taman ayun harus segera jadi," kata Andika Jayanata.
Karena mendapatkan ancaman itu, Tan Chen menegaskan dirinya memohon kepada Raja Karangasem untuk menutupi Taman Ayun dengan kain hitam. Ternyata dalam waktu satu bulan, taman itu langsung jadi.
Sang raja pun takut melihat kemampuan Tan Fu Chen itu dan berpikiran orang tersebut memiliki kemampuan luar bisa hingga Tan Fu Chen pun diburu untuk ditangkap. Ingat keselamatan dirinya, dia pun melarikan diri sampailah ke daerah Banyuwangi, Jawa Timur.
Dia menghilang di Banyuwangi, tapi dia sering memunculkan keajaiban-keajaiban menolong banyak orang. "Hingga orang mulailah menyembah Tan Fu Chen sebagai dewa," katanya.
Saat ini, bisa dikatakan keberadaan Kelenteng Pao Hwa Kong merupakan potret keberagaman yang sampai sekarang masih terjaga di daerah Kota Tua Ampenan. Sejak ratusan tahun mereka tinggal berdampingan dengan berbagai etnis yang membentuk perkampungan, yakni, Kampung Melayu, Kampung Arab, Kampung Banjar, dan Kampung Bugis. Keberadaan Kota Tua bisa menjadi miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan simbol Bhineka Tunggal Ika.
Karena itu, bisa dikatakan keberadaan Kelenteng Pao Hwa Kong merupakan potret keberagaman yang sampai sekarang masih terjaga di daerah Kota Tua Ampenan. Sejak ratusan tahun mereka tinggal berdampingan dengan berbagai etnis sehingga menjadi miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan simbol Bhineka Tunggal Ika.*
Baca juga: Denyut perdagangan di Pelabuhan Ampenan
Baca juga: Catatan keharmonisan di Kota Tua Ampenan
Baca juga: Kusamnya kota Tua Ampenan
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018