Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Hajriyanto Y Thohari, di Jakarta, Selasa, berpendapat tindakan semena-mena parlemen Singapura meratifikasi "Deffence Cooperation Agreement" (DCA) atau perjanjian kerja sama pertahanan RI-Singapura secara sepihak, berarti negara pulau itu telah membatalkan perjanjian tersebut. "Iya, secara faktual demikian (perjanjian DCA RI-Singapura batal). Dan ini sungguh menyedihkan. Karena, Pemerintah RI sesungguhnya masih juga menunggu jawaban Singapura atas ajakan RI untuk membahas kembali `arrangement Agreement` atas `Deffence Cooperation Agreement` (DCA). Ternyata mereka telah melakukan tindakan sepihak itu," katanya kepada ANTARA News. Hajriyanto Thohari mengungkapkan, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, Senin awal pekan ini, Menteri Pertahanan (Menhan) RI juga telah dengan resmi menyatakan Singapura secara faktual sudah membatalkan DCA. "Alasannya sama, yakni karena secara sepihak parlemen Singapura telah meratifikasi DCA (perjanjian kerja sama pertahanan) RI-Singapura itu," ungkapnya lagi. Di pihak lain, lanjut Hajriyanto Thohari, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew menolak pemberlakuan secara surut 15 tahun dalam perjanjian ekstradisi ("Extradition Treaty"/ET). Padahal pihak Singapura berharap bisa "mentandemkan" dua perjanjian itu, yakni ET dan DCA RI-Singapura. "Jadi sekali lagi, dengan adanya langkah sepihak parlemen negara itu, maka secara faktual pula, perjanjian DCA dengan Singapura sudah batal, apalagi Singapura (dengan pimpinan Lee Kuan Yew) tidak bisa menerima ET yang berlaku surut 15 tahun itu tadi," tukas Hajriyanto Thohari. Penolakan Lee Kuan Yew memang dapat diduga sebagai ketakutan atas kemungkinan tindakan Indonesia melakukan penarikan atas dana-dana hasil korupsi serta manipulasi para penjahat ekonomi keuangan bernilai ratusan, bahkan ribuan triliun yang dilarikan ke negara itu sejak dekade silam. "Dengan fakta itu, maka pemberlakuan DCA secara tandem dengan ET juga terancam gagal, dan memang faktualnya sudah begitu. Ini sekali lagi menyedihkan, karena yang membatalkan (meski baru secara faktual, belum resmi) justru Singapura. Sementara Indonesia masih juga menunggu sikap resmi negara kecil itu. Kenapa bukan Indonesia yang membatalkan? Apa yang kau cari (para pejabat). Apa yang kau tunggu (para negosiator)?", tandas Hajriyanto Thohari kesal. Ia menambahkan, dengan langkah Parlemen Singapura meratifikasi DCA, Singapura telah dengan sengaja berinisiatif menggagalkan perjanjian tersebut. "Sebab, RI sebenarnya masih minta dibuat `implementation arrangement`-nya terlebih dulu (sebelum DCA terimplementasi). Walhasil, Singapura secara faktual telah menggagalkan DCA dengan buru-buru melakukan ratifikasi itu," ujarnya. Pilihannya sekarang, demikian Hajriyanto Thohari, ialah apakah RI akan terus menunggu sikap resmi Singapura ataukah bertindak cepat membatalkannya. "Menurut saya, karena DCA tersebut jelas sangat merugikan RI, dan Singapura jelas-jelas menolak ajakan negosiasi untuk membuat perbaikan DCA dan `implementation arrangement`-nya, bahwa telah secara sepihak meratifikasinya, maka RI harus segera mengumumkan pembatalan DCA. Apalagi yang kita tunggu? `Nothing!`," tegas Hajriyanto Y Thohari.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007