Kupang (ANTARA News) - Pertumbuhan pengguna smartphone dan media sosial di Indonesia belakangan ini, tampaknya tidak diimbangi dengan literasi digital yang memadai sehingga melahirkan berita-berita bohong (hoaks) yang semakin merajalela.
Penyebaran berita hoaks itu tidak hanya melalui situs online, tetapi juga melalui pesan chatting. Jika para netizen tidak waspada dan hati-hati maka bisa dengan mudah akan termakan tipuan hoax dan bisa ikut menyebar berita bohong kepada pihak lain.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo alias Stanley menilai bahwa informasi bersifat hoaks dewasa ini telah menenggelamkan fakta yang ada di tengah masyarakat dan bahkan bisa memantik suasana menjadi kacau balau.
Bahkan, hoaks bisa membawa dampak terhadap kerusuhan dan menghilangkan nyawa orang lain, sebab fakta telah membuktikan bahwa berita hoaks telah berujung kepada kekerasan individualistik.
Dalam pandangan Prasetyo, media sosial saat ini sudah menjadi tempat penyebaran hoaks, kebencian dan seruan radikalisme, sehingga membawa dampak buruk terhadap siapa saja yang berada dalam satu lingkaran sosial kemasyarakatan.
Prasetyo kemudian menjelaskan perbedaan antara informasi dan berita media. Kalau informasi media berasal dari bahasa latin "informationel" yang artinya potongan pesan atau kumpulan pesan awal yang disampaikan seseorang dan diterima oleh sebuah institusi media.
Sedangkan berita, lebih kepada kumpulan info media yang disampaikan kepada publik yang telah dicek kebenarannya dan diverifikasi oleh wartawan.
Dewasa ini, media sosial tampaknya menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menemukan sejumlah informasi di saat sejumlah media mainstream tidak lagi dipercaya publik.
Media sosial semacam Twitter dan Facebook yang awal mulanya diciptakan untuk membuat update status atau menemukan kembali teman-teman lama yang berpisah, berubah menjadi sarana seseorang menyampaikan pendapat politik, mengomentari pendirian orang lain.
Kabar bohong atau hoaks beredar di dunia maya, disebar dari satu akun ke akun lain, berpindah dari Facebook ke Twitter, Twitter ke WhatsApp grup dan dalam beberapa jam tanpa diketahui siapa yang pertama menyebarnya pesan itu telah mengundang amarah atau rasa takut pengguna.
Di sisi lain informasi hoaks sengaja dibuat untuk mengubah mindset (cara pandang) seseorang dalam melihat persoalan membangun radikalisme, menjanjikan mimpi, dan bertindak ekstrem.
Untuk itu penting membangun sebuah kesadaran akan pemanfaatan media sosial secara baik, untuk kepentingan yang lebih bermartabat demi kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam situasi seperti dewasa ini, media massa harus terus memanfaatkan segala kemampuan dengan tetap menjaga netralitas dan profesionalismenya untuk menjadi panduan informasi yang benar dan penting bagi masyarakat.
Kondisi ini, menurut Prasetyo, memang perlu terus dijaga agar masyarakat merasa tidak kehilangan kepercayaan terhadap dunia jurnalistik dan akhirnya beralih kepada media sosial sebagai jurnalistik alternatif.
Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi juga menyatakan bahwa berita hoaks dewasa ini sudah memasuki tahap serius di Indonesia dan akan terus berkembang pesat saat menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden 2019.
Kondisi ini, dinilainya sudah mengancam eksistensi pers sebagai pilar keempat demokrasi, karena berita bohong memiliki rentang yang sangat lebar, mulai dari yang satir untuk menyindir sampai yang dipublikasikan melalui berbagai kanal informasi.
Pada awal mulanya, masyarakat mencari kebenaran atas informasi bohong melalui media mainstream. Namun saat ini informasi bohong justru masuk ke dimensi lain di media sosial dan diadopsi begitu saja di media mainstream tanpa klarifikasi. Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media mainstream. Di Indonesia berita bohong digali hingga ke isu-isu lain termasuk isu sentimen agama. "Fake news sudah mengancam eksistensi pers sebagai pilar keempat demokrasi," ujarnya.
Dewan Pers dan masyarakat pers Indonesia dewasa ini, tidak dalam posisi ingin membuat peraturan baru mengenai berita bohong karena pemberitaan bohong bisa disikapi masyarakat dengan berpegang pada aturan-aturan yang ada.
Terus, bagaimana untuk menangkal berita bohong tersebut? Ada lima langkah yang bisa dilakukan untuk menangkal berita bohong, yakni hati-hati dengan judul berita yang provokatif, cermati alamat situsnya, periksa faktanya dari mana berita itu berasal.
Selain itu, cek keaslian foto dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images, serta ikut serta dalam grup diskusi anti hoax seperti Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.
Lima langkah yang diajarkan itu tampaknya belum mempan untuk menangkal hoaks, sehingga organisasi yang bergerak di bidang pencegahan dan resolusi konflik sosial di antaranya CIS Timor dan Komunitas Peacemaker Kupang (Kompak) menggelar konferensi anak muda lintas agama untuk memperkuat jaringan orang muda untuk melawan informasi bohong dan ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Menurut Ketua Panitia Konferensi Anak Muda Ririn Astriniwati maraknya informasi bohong dan ujaran kebencian yang beredar saat ini telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan masyarakat, terutama menjelang hajatan Pemilu 2019.
Banyak ujaran kebencian yang disangkutpautkan dengan identitas agama, suku, kelas sosial, gender, dan lainnya setiap saat beredar leluasa di media konvensional maupun media sosial.
Jika penyebaran berita bohong ini tidak ditangani dengan cepat, maka bagi Ririn Astriniwati, opini-opini yang tidak kredibel itu bisa menjadi potensi untuk memecah belah keutuhan dan persatuan sosial dalam masyarakat.
"Anak muda bersama melawan kabar bohong dan ujaran kebencian", menjadi tema sentral dalam konferensi anak muda yang diharapkan dapat meningkatkan peran anak muda dalam menjaga agar informasi bohong dan ujaran kebencian tidak semakin beredar luas di masyarakat.
Baca juga: BSSN bagikan tips mendeteksi hoaks
Baca juga: Praktisi: Media harus dorong verifikasi terhadap hoaks
Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018