Kupang (ANTARA News) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanes Tuba Helan, Mhum mengatakan, umumnya mahasiswa memilih untuk tidak ikut dalam pemilu atau golput karena persoalan administrasi kependudukan.
"Kalau ditanya mengapa mahasiswa lebih memilih menjadi golput, maka persoalannya ada di administrasi kependudukan, yakni kartu tanda penduduk (KTP) yang tidak berlaku di luar alamat dalam KTP," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Rabu.
Dia mengemukakan hal itu, menjawab pertanyaan seputar pilihan golput di sebagian kalangan mahasiswa dan bagaimana mengajak mereka agar ikut partisipasi dalam Pemilu.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr Ahmad Atang, MSI mengatakan, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat terdidik tentu memiliki pemikiran, persepsi politik dan kepekaan sosial yang tinggi sehingga partisipasinya dalam politik menjadi penting untuk membangun kualitas demokrasi.
Atas dasar itu, mahasiswa diharapkan tidak golput dalam ajang Pemilu 2019.
Sementara mahasiswa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang kurang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat, sehingga mereka tidak mau mengurus e-KTP sebagai salah satu persyaratan dalam pemilu.
Menurut dia, mahasiswa yang datang ke kota seperti Kupang hanya bersifat sementara selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi.
"Persoalan ada di administrasi kependudukan, yakni KTP tidak berlaku di luar alamat dalam KTP sehingga mahasiswa datang di Kupang hanya sementara tidak bisa memilih. Mau pulang kampung untuk memilih biaya mahal," katanya.
Seharusnya mahasiswa dimana saja diberi kesempatan memilih di tempat domisili, walaupun sementara, kata Johanes Tuba Helan.
Baca juga: Megawati minta mahasiswa awasi Pemilu
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018