"Memang ada pemikiran bahwa akan dikurangi jumlah pilkada, katakanlah bupati (nanti) dipilih oleh DPRD. Itu juga suatu solusi juga, mungkin lebih kecil risikonya dibanding sekarang ini (pilkada langsung)," kata dia, di Jakarta, Selasa.
Menurut Kalla, dengan banyaknya Pemilu seperti saat ini, biaya politik yang dikeluarkan partai, calon kepala daerah dan caleg DPRD juga semakin besar.
Hal itu dapat menjadi pemicu bagi para politikus yang terpilih dalam pemilu untuk mengembalikan modal kampanye.
"Makin banyak pemilu, makin banyak ongkos, makin banyak (korupsi). Sehingga kalau semua level pilkada ada, kemudian kampanye makin lama, makin banyak ongkos juga. Jadi makin banyak ongkos, banyak orang korup untuk mengembalikan modal," jelasnya.
Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah akhir-akhir ini, menurut Kalla, antara lain juga disebabkan oleh sistem desentralisasi yang memberikan wewenang penuh bagi pemda untuk mengatur pemerintahan.
Dahulu, ketika sistem pemerintahan di Indonesia masih terpusat, kasus korupsi terjadi di kalangan elite di tingkat pusat. Kini, lanjut Wapres, ketika daerah memiliki kekuasaan sendiri, kecenderungan untuk korupsi banyak menimpa pejabat di daerah.
Namun untuk mengembalikan sistem pemerintahan menjadi terpusat lagi seperti dulu, menurut JK hal itu tidak bisa dilakukan. Sehingga, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan wewenang pemberian ijin tambang di kabupaten ditarik lagi ke provinsi.
"Kalau otonomi susah ditarik lagi, (karena) begitu diberikan kewenangan ke daerah itu susah ditarik lagi. Walaupun ada juga yang dipindahkan; dulu ijin tambang di kabupaten, sekarang ijin tambang itu ke provinsi," katanya.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018