Jakarta (ANTARA News) - Presiden Direktur PT Lippo Karawaci Ketut Budi Wijaya tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyidikan kasus suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Sebelumnya, KPK pada Senin dijadwalkan memeriksa Ketut sebagai saksi untuk tersangka Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS).

"Penyidik belum memperoleh konfirmasi terkait ketidakhadirannya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.

Lebih lanjut, Febri menyatakan bahwa lembaganya ingin mengkonfirmasi soal sumber dana dalam kasus suap itu dari pejabat Lippo Group yang dipanggil.

"KPK memanggil karena perlu mengklarifikasi sumber dana, yang kedua sejauh mana ada arahan atau instruksi antara perusahaan Lippo Group terkait proyek Meikarta. Apakah ada arahan untuk memberikan uang, itu tentu perlu kami dalami ada atau tidak hal tersebut," ungkap Febri.

Selanjutnya ketiga, kata dia, KPK perlu melihat secara lebih luas bagaimana sebenarnya proses perencanaan proyek Meikarta dari perspektif koorporasi atau perusahaan.

"Kenapa ini penting karena sebenarnya menurut dugaan kami proyek Meikarta ini tidak akan mungkin bisa dilakukan sampai ratusan hektare kalau kondisi tata ruangnya masih seperti saat ini dan beberapa aturan tidak memungkinkan untuk dibangun proyek seperti itu. Sementara di sisi lain kami menduga izinnya justru bermasalah dari awal," tuturnya.

KPK total telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu antara lain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).

Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).

Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.

Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen "fee" fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.

KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei, dan Juni 2018.

Adapun keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018