Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Agus Widjojo mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak dapat dilakukan melalui rekonsiliasi karena masyarakat belum siap.
"Kedua belah pihak antara korban dan pelaku harus mau bertemu. Kalau tidak, jangan bermimpi ada rekonsiliasi," kata Agus Widjojo dalam peringatan Hari HAM Internasional 2018 di Jakarta, Senin.
Selain kesiapan masyarakat, ia menuturkan hal yang menjadi tantangan penyelesaian pelanggan HAM berat adalah harus ada kemauan politis pemerintah serta kesediaan pihak korban dan pelaku untuk bertemu.
Rekonsiliasi, kata dia, mencakup seluruh lapisan masyarakat untuk membentuk budaya baru serta memerlukan kesediaan korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif.
Apalagi menurut dia sebuah tindakan kekerasan tidak dapat diserahkan hanya kepada salah satu pihak saja. Ia mencontohkan pelanggaran dalam HAM berat peristiwa 1965, jarang disebutkan tindakan kekerasan yang dilakukan PKI sebelum 2 Oktober 1965.
"Jadi catatan sejarah PKI sampai 1 Oktober, ingat 1948, Gubernur Suryo, Gubernur Jatim, caranya dibunuh dan kekerasan pada golongan ulama," tutur Agus Widjojo.
Semua pihak yang terlibat sampai tingkat tertentu dikatakannya mempunyai tanggung jawab atas terjadinya tindak kekerasan pada 1965.
Ada pun sebanyak 10 penyelidikan pelanggaraan HAM berat yang telah diserahkan Komnas HAM hingga 2018 kepada Jaksa Agung belum ditindaklanjuti.
Pelanggaran HAM berat tersebut adalah penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, peristiwa Mei 1998, peristiwa Talangsari, kasus Wamena, peristiwa Wasior, peristiwa Jambu Keupok, peristiwa Simpang KKA dan Rumoh Geudong.
Baca juga: Konflik agraria banyak diadukan sepanjang 2018
Baca juga: 10 pelanggaran HAM berat belum ditindaklanjuti Jaksa Agung
Baca juga: Tokoh Papua perlu lebih sering duduk bersama
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018