Mungkin juga nama Jawa lebih dikenal daripada Indonesia karena dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Mongolia menyebutkan bahwa pulau terpadat di Nusantara itu sebagai salah satu wilayah penaklukan Kubilai Khan
Oleh M. Irfan Ilmie *)

"Telur itu bahasa Mongolianya apa?" tanya Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia, Djauhari Oratmangun.

"Endog," jawab Deputi Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan dan Ekonomi Luar Negeri Kemenlu Mongolia, Battsetseg Tuvshintugs.

Sontak jawaban singkat diplomat perempuan tersebut membuat para delegasi Indonesia dalam Forum Bisnis di Ulaanbaatar, Jumat (7/12), itu tertawa lebar.

Lain halnya dengan delegasi Mongolia yang masih terheran atas respons kompatriotnya itu akan jawaban Battsetseg.

Beberapa menit kemudian barulah delegasi Mongolia ikut tertawa setelah mendapatkan penjelasan dari Dubes Djauhari bahwa telur dalam bahasa Jawa juga "endog".

Djauhari tidak asal mengajukan pertanyaan itu karena mantan Dubes RI untuk Rusia itu ingin membuktikan kesesuaian antara referensi yang pernah dibacanya dengan pengucapan "endog" dari mulut orang Mongol.

Battsetseg teringat sejarah Kubilai Khan yang pernah mengirimkan pasukan ke Tanah Jawa sehingga mengaitkannya dengan "endog" tadi.

Ada atau tidak kajian histroris mengenai kesamaan penyebutan benda bulat bercangkang hasil pembuahan binatang jenis unggas atau melata tersebut mampu menghangatkan suasana pertemuan para pebisnis di Ibu Kota Mongolia yang pada siang hari itu bertemperatur minus 35 derajat Celcius.

Suasana siang itu pula seakan turut mencairkan hambarnya hubungan diplomatik Indonesia-Mongolia, meskipun telur yang secara tiba-tiba menjadi pokok pembicaraan kedua delegasi itu tidak tersajikan di meja perundingan.

Indonesia dan Mongolia itu sebenarnya telah menjalin hubungan diplomatik sejak 1966. Bahkan menurut Battsetseg, Presiden Sukarno pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Mongolia pada 1957.

Megawati Soekarnoputri saat menjabat Presiden RI pun mengikuti jejak sang ayah melawat ke negara berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa yang sebagian besar wilayanya berupa gurun itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah melakukan kunjungan bersejarah ke Mongolia pada 2013. Demikian halnya dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat menghadiri KTT ASEM di Ulaanbaatar pada 2016.

Mongolia tidak memiliki kedutaan di Jakarta, demikian halnya dengan Indonesia di Ulaanbaatar. Dubes RI untuk China yang berkedudukan di Beijing merangkap tugas di Mongolia. Demikian dengan Kedutaan Besar Mongolia di Bangkok, Thailand, juga membawahi Indonesia.

Masyarakat Mongolia pun tidak banyak yang mengenal Indonesia, meskipun sebagian ada yang pernah berwisata ke Bali.

Nama Bali jauh lebih dikenal daripada Indonesia seperti penuturan dosen National University of Mongolia, Saran Munkhsaran, kepada Antara di Ulaanbaatar, Sabtu (8/12).

Mungkin juga nama Jawa lebih dikenal daripada Indonesia karena dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Mongolia menyebutkan bahwa pulau terpadat di Nusantara itu sebagai salah satu wilayah penaklukan Kubilai Khan.

Setelah berhasil mendirikan Dinasti Yuan yang menguasai wilayah daratan China pada 1279, Kubilai mengirimkan pasukan Mongol ke Tanah Jawa pada 1292.

Ia geram setelah utusannya dirusak wajahnya oleh Raja Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara yang tidak mau tunduk dan menolak membayar upeti.

Setahun kemudian pasukannya yang dikirim dari Guangzhou, kota pelabuhan di selatan China, menginjakkan kaki di Rembang, Jawa Tengah.

Namun pada saat itu, Kerajaan Singasari sudah dihancurkan oleh Kerajaan Kediri. Kedatangan Pasukan Mongol tersebut dimanfaatkan oleh Raden Wijaya yang ingin melakukan pemberontakan terhadap Raja Jayakatwang yang saat itu menguasai Kediri.

Ribuan bala tentara Kerajaan Kediri dibuatnya kocar-kacir, bahkan mati sia-sia di Sungai Brantas yang memaksa Raja Jayakatwang menyerahkan diri.

Pesta kemenangan di Kediri membuat pasukan Mongol lengah akan siasat berikutnya Raden Wijaya.

Pasukan berkuda Mongol yang dikenal kuat dan tangguh itu berhasil dipukul Raden Wijaya yang kelak mendirian Kerajaan Majapahit.

Keberhasilan Raden Wijaya itu juga tidak lepas dari faktor cuaca tropis di Jawa yang turut membantu menundukkan keperkasaan pasukan Mongol.

Mendengar kegagalan pasukan Mongol di bawah panglima perang Ike Mese, Kubilai marah besar dengan menghukum cambuk pimpinan militernya itu sekaligus menyita harta kekayaannya.

Kubilai memang memewarisi kebengisan kakeknya, Jengis Khan, pendiri kekaisaran Mongolia yang menguasai sebagian besar daratan Asia.

Bukti keperkasaan pasukan Jengis itu hingga kini dapat dilihat di beberapa tempat di Ulaanbaatar, termasuk Chinggis Khaanii Khuree yang banyak dikunjungi wisatawan.

Di kompleks perumahan Mongol kuno berbentuk kubah yang terbuat dari kulit domba itu menyimpan beberapa peralatan perang zaman "baheula".
Patung pendiri Kekaisaran Mongolia Jengis Khan berlapis emas seberat 70 kilogram di Chinggis Khaanii Khuree di Ulaanbaatar. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

Dinding dan atap "ger" atau rumah kubah berwarna putih penuh dengan hiasan kulit harimau salju (snow leopard), serigala, dan rubah.

Bangunan-bangunan bundar berukuran kecil yang berdiri di atas savana itu juga dilengkapi tungku besar untuk mengusir hawa dingin karena suhu udara di Mongolia bisa mencapai minus 42 derajat Celcius pada musim dingin seperti sekarang.

Pasang-Surut

Kemitraan Indonesia-Mongolia memang tidak bisa berdiri sendiri tanpa catatan-catatan sejarah tersebut.

Kedua negara tersebut juga mengalami pasang-surut hubungan diplomatik. Namun renggangnya hubungan itu lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi perekonomian, bukan faktor politis seperti pembekuan hubungan yang pernah terjadi pada Indonesia-China.

Dalam empat tahun terakhir nilai perdagangan Indonesia-Mongolia terus mengalami penurunan.

Pada 2013, nilai perdagangan Indonesia-Mongolia mencapai angka 20,78 juta dolar AS. Setahun kemudian angka itu sempat naik menjadi 26,01 juta dolar AS.

Namun pada 2015, nilai perdagangan kedua negara anjlok hingga tinggal 5,93 juta dolar AS.

Pada 2016 meningkatkan lagi menjadi 17,45 juta dolar AS sebelum turun tipis menjadi 17,37 juta dolar AS pada 2017.

Pada tahun ini nilai perdagangan Indonesia dengan Mongolia hanya 9,5 juta dolar AS, demikian data Badan Pusat Statistik RI.

Mongolia masih membutuhkan bahan obat-obatan dari Indonesia untuk selanjutnya di ekspor ke negara-negara di Eropa melalui skema umum preferensi (GSP).

"Namun lebih dari itu, Mixagrip yang dibuat di Indonesia sangat terkenal di sini," kata Battsetseg yang siang itu tampak anggun dengan mengenakan stelan jas berwarna biru.

Deputi Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan dan Ekonomi Luar Negeri Kemenlu Mongolia, Battsetseg Tuvshintugs saat memberikan paparan dalam Forum Bisnis Indonesia-Mongolia di UlaanbaatarJumat 7/12. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

Pernyataan Battsetseg dipertegas lagi oleh Menlu Mongolia Damdin Tsogtbaatar saat menghadiri resepsi Diplomatik Indonesia di tempat yang sama pada malam harinya.

Bahkan Menlu yang mengaku sebagai sahabat karib Sandiaga Uno itu menginginkan kerja sama dengan Indonesia tidak hanya di bidang ekonomi dan perdagangan, melainkan budaya dan pendidikan.

Hubungan Indonesia-Mongolia sudah mengikuti tren diplomasi yang sudah mengarah pada upaya meraih kesempatan di bidang ekonomi.

Pada tataran inilah Indonesia mulai melihat sisi strategis Mongolia di antara dua negara raksasa, Rusia dan China.

Demikian halnya dengan Mongolia yang takjub atas sepak terjang Indonesia di kawasan Asia-Pasifik.

*) Penulis adalah Kepala Biro Antara Beijing

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018