Denpasar (ANTARA News) - Bedug berumur ratusan tahun di sebuah masjid di Banjar Saren Jawa, Desa Budakeling, Karbupaten Karangasem, yang terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan itu masih utuh. Banjar itu terdapat di kawasan ujung timur Pulau Bali, sekira 80 km timur laut Kota Denpasar. Terdapat dua masjid tua di sana. Bentuk bangunan masjid itu khas, atapnya menggunakan ijuk menyerupai bagian atas bangunan pura. "Bentuk bangunan masjid yang berarsitektur tradisional Bali itu diwarisi secara turun-temurun dan bentuknya tetap dipertahankan sesuai aslinya, meskipun sudah pernah direnovasi," tutur seorang tokoh masyarakat setempat. Banjar Saren Jawa dihuni sebanyak 328 KK atau 833 jiwa kaum Muslim. Mereka hidup rukun dan harmonis berdampingan dengan para tetangganya yang beragama Hindu. Kaum Muslimin yang menempati satu pemukiman khusus itu berawal dari datangnya utusan Raja Demak, berabad lalu, yang akan membantu Raja Gelgel, Sri Watur Enggong, mengamankan wilayahnya dari serangan segerombolan sapi "warak" (gila). Namun, setelah sapi gila yang sering mengamuk dan mengganggu pemukiman rakyat di Kerajaan Gelgel itu dibunuh dan sebagian dijinakkan, utusan Raja Demak yang dipimpin Kiai Jalil itu enggan pulang ke Jawa. Mereka memilih menetap di Desa Budakeling, Karangasem. "Hingga sekarang keturunannya hidup rukun, berdampingan, saling membantu dan menghormati satu sama lain," ungkap dosen Fakultas Sastra Univesitas Udayana, Drs Ida Wayan Granoka (56). Ida Wayan Granoka, pria kelahiran Budakeliling, Kabupaten Karangasem, mengatakan kaum Muslimin itu selalu aktif membantu banjar di sekitarnya pada tiap-tiap kegiatan adat dan keagamaan Hindu. Menurut dia, dua masjid tua bukti peninggalan sejarah yang tetap terpelihara serta terawat dengan baik itu merupakan cermin kehidupan yang damai, rukun, harmonis, dan hidup berdampingan satu sama lain di kawasan itu. Peninggalan lain yang mempunyai nilai sejarah tinggi, katanya, adalah sebuah keris dan tombak yang dulu digunakan untuk membunuh sapi gila. Kulit sapi tua yang oleh umat Islam dijadikan bedug, memiliki kembaran yang juga tetap utuh di tangan orang-orang Hindu. Kulit sapi itu kini menjadi alas di sebuah lumbung milik warga setempat dengan keadaan yang masih utuh. "Leluhur kami sejak awal mengajarkan hidup rukun dan damai, saling membantu dan menolong satu sama lain, meskipun berlainan agama," ujar pemuka masyarakat setempat, baik dari kalangan Islam maupun Hindu. Pembagian kulit sapi warak, yang belum diketahui secara pasti tahun terjadinya itu, disebut sebagai bukti awal kerjasama yang baik dengan pembagian yang adil. Desa Budakeling Desa Budakeling terdiri atas 17 banjar seluas 2.369,8 hektare, jauh dari keramaian kota, dan hingga sekarang tetap hijau dan lestari. Kehidupan masyarakat setempat didukung oleh hasil pertanian, perkebunan, peternakan, serta sebagian kecil menekuni wiraswasta. Dua generasi muda di desa itu, Suarta yang Hindu maupun Syarifudin yang Islam, menyatakan mereka selama ini terus mempertahankan nilai-nilai yang bisa membuat kehidupan mereka mesra dan harmonis. Mereka juga menyatakan hal yang mirip bahwa kehidupan umat beragama yang mesra dan harmonis itu optimis tetap dapat dipertahankan pada masa-masa mendatang, karena satu sama lain mempunyai tanggung jawab dan kepentingan yang sama. Pembauran dalam kehidupan sehari-hari antara Hindu dan Islam di Bali, selain di Budakeling, juga terjadi di Desa Kepaon, Kampung Bugis, Kelurahan Serangan di pinggiran kota Denpasar dan Desa Pegayaman di kabupaten Buleleng, daerah pesisir utara Pulau Bali. Jalinan kekerabatan Islam dan Hindu di Bali terjadi sejak abad XIV, sementara khusus di Denpasar mulai abad XVII. Itu berawal dari pendaratan perahu dari Jawa di Denpasar yang ketika itu penguasanya adalah Raja Cokorda Pemecutan III, bergelar Betara Sakti. A.A Wirawan dan Dian Arriegalung menulis sejarah masuknya Islam di Badung yang menjadi bagian dari buku Sejarah Masuknya Agama Islam ke Bali". Disebutkan, ketika itu Kerajaan Pemecutan tengah berseteru dengan tetangganya Kerjaan Mengwi, yang akhirnya menjadi perang. Diplomasi atau musyawarah tidak mampu mencegah perang bersenjata, sehingga berlaku hukum rimba siapa yang kuat dialah pemenangnya. Para pendatang dari Jawa, yang perahunya mengalami kerusakan dan terdampar, dimanfaatkan oleh Raja Pemecutan sebagai prajurit yang membantu menggempur Kerajaan Mengwi. "Prajurit" pendatang tersebut dipimpin Raden Sastroningrat, seorang bagsawan kelahiran Madura (Jatim). Oleh raja ia dijanjikan kebebasan serta akan dinikahkan dengan salah seorang putrinya bila bersedia membantu Kerajaan Pemecutan melawan Mengwi. Akhirnya, pasukan gabungan kerajaan Pemecutan dan para pengawal Raden Sastroningrat memenangi pertempuran. Raja Pemecutan III menepati janjinya; Sastroningrat dikawinkan dengan putri raja bernama Anak Agung Ayu Rai. Setelah itu, Sastroningrat mengajak istrinya pulang ke Jawa untuk memperkenalkan Ayu Rai kepada keluarga Sastroningrat, juga sebagai tindak lanjut untuk mengislamkan A.A Ayu Rai. Sekembalinya dari tanah Jawa, pasangan suami istri tersebut diterima dengan baik oleh raja, namun setelah tahu putrinya pindah agama, Raja memisahkan tempat tinggal keduanya. Putri raja dan para pengikutnya yang setia dari Jawa ditempatkan di Kebon, kini menjadi perkampungan Islam Kepaon, Denpasar Selatan, sedangkan suaminya Sastroningrat ditempatkan di Ubung, Denpasar Barat. A.A Ayu Rai wafat dan dikuburkan di pemakaman "Setra Ganda Mayu" Badung yang lokasinya berdekatan dengan puri raja Pemecutan, dan sampai sekarang makam itu lebih dikenal dengan nama "pura keramat puri Pemecutan". Tempat makam tersebut hingga kini banyak diziarahi orang-orang Madura dan Jawa, di samping orang-orang Bali. Sedangkan Sastroningrat setelah meninggal dunia dimakamkan di Ubung, dan kini makamnya masih terpelihara di dekat Terminal Ubung. (*)
Oleh Oleh I Ketut Sutika
Copyright © ANTARA 2007