Jakarta (ANTARA News) - Pertemuan para pihak (Conference of Parties/COP) ke-24 Konvensi Kerangka Kerja untuk Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) harus bisa menjadi momentum Indonesia merevisi target penurunan emisinya.

Kepala Departemen Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid yang dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengatakan pada COP 24 ini Pemerintah menyatakan penurunan emisi telah terjadi, salah satunya karena angka kebakaran hutan dan lahan telah menurun dari tahun 2015.

“Kami melihat upaya penurunan emisi dengan penanganan kebakaran hutan dan lahan sebagai sebuah upaya positif,” katanya.

Namun ia mengatakan pihaknya menilai upaya tersebut belum cukup memadai atau belum ambisius untuk menahan suhu Bumi naik melampaui 1,5 derajat celcius di 2030.

Penetapan target Nationally Determined Contributions (NDC) yang lebih ambisius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) harus dilakukan di sektor energi, hutan dan lahan, ujarnya.

Pemerintahan Indonesia, menurut dia, ke depan harus merumuskan kebijakan korektif, struktural dan sistematis untuk mencapai target penurunan emisi secara drastis, demi memberikan jaminan keselamatan bagi warga negara dan memastikan perlindungan wilayah kelola rakyat dari dampak perubahan iklim.

Ia menyebut pemerintah perlu melanjutkan dan memperkuat Instruksi Presiden (Inpres) moratorium Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan gambut, menjalankan kebijakan moratorium sawit dan evaluasi perizinan, serta audit lingkungan terhadap korporasi sebagai aktor penyumbang emisi terbesar dunia.

Dalam diskusi di sela-sela pelaksanaan COP 24 di Katowice, Polandia, Walhi di lima provinsi yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara menyampaikan fakta krisis iklim yang terjadi.

Sebagian besar krisis iklim bersumber dari alih fungsi lahan dan deforestasi seperti perkebunan besar kelapa sawit, tambang batubara dan kebun kayu, yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca, meski pemerintah sudah mengeluarkan Inpres Moratorium Sawit.

Sementara di sisi yang lain, lanjut dia, pengakuan terhadap hutan adat masih berjalan sangat lambat dari komitmen yang seharusnya sudah bisa dipenuhi oleh pemerintah, juga masih lemahnya pengakuan hak kelola rakyat dalam pengelolaan ekosistem rawa gambut oleh negara.

Bagi Walhi, wilayah kelola rakyat yang berbasiskan pada pengetahuan dan kearifan lokal adalah solusi riil dari rakyat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Sebelumnya dalam keterangan tertulisnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan pengurangan emisi yang paling signifikan akan dicapai dalam sektor kehutanan, dengan pengurangannya menyumbang lebih setengah dari target, yaitu 17,2 persen dari target 29 persen di 2030, dan 23 persen dari pengurangan emisi 41 persen.

Ia juga mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah menggeser paradigma pengelolaan hutan, dari orientasi kayu ke pengelolaan lanskap hutan. Selain itu, langkah-langkah korektif juga dilakukan melalui penyediaan akses terhadap hutan yang lebih besar untuk masyarakat, percepatan perhutanan sosial, konfigurasi bisnis baru para petani kecil dan perusahaan, hutan adat, resolusi konflik kepemilikan dan penegakan hukum.

Baca juga: Jelang COP 24 LSM serukan aksi iklim ambisius
Baca juga: BRG berbagi metode pemantauan restorasi gambut di KTT Iklim
Baca juga: PBB meyakinkan pendanaan iklim terpenuhi


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018