Yangon (ANTARA News) - Pengadilan Myanmar pada Jumat memenjarakan tiga pegiat, yang didakwa memfitnah tentara dalam unjuk rasa menentang perang, di tengah peningkatan kekhawatiran akan penekanan terhadap masyarakat madani.
Hakim di Myitkyina, ibu kota negara bagian Kachin, menyatakan dua pria dan satu wanita bersalah melakukan pencemaran nama baik, menghukum mereka enam bulan penjara dan denda 320 dolar (4,8 juta rupiah) masing-masing.
Lum Zawng, Nang Pu, dan Zau Jat mengikuti unjuk rasa di daerah bergolak Kachin pada April, ketika serangan tentara terhadap gerilyawan suku kecil mengakibatkan lebih dari 6.000 orang meninggalkan rumah mereka.
"Mereka menggunakan kata `tentara` dalam pidato mereka," kata Doi Bu, pengacara salah satu terdakwa itu, mengacu pada pidato mereka di unjuk rasa tersebut.
"`Tentara tidak mengizinkan orang meninggalkan daerah perang`," katanya memberikan contoh dari yang mereka katakan, "`Tentara menghalangi orang pergi dari daerah perang` dan `tentara mengancam orang`."
Ketiganya menyatakan tidak melakukan kesalahan.
Baca juga: Pegiat Myanmar terbebas janji teruskan perlawanan
Pertempuran pasukan pemerintah dengan salah satu kelompok terbesar gerilyawan di negara itu, Tentara Kemerdekaan Kachin, menelantarkan ratusan penduduk desa di daerah perang dan memicu unjuk rasa menentang perang di Myitkyina.
Sesudah lebih dari dua pekan, pemimpin pemerintah Aung San Suu Kyi mengirim menteri kesejahteraan sosial, bantuan dan pemukiman kembali, Menang Myat Aye, ke daerah itu dan pada Mei, sekitar 150 penduduk desa, yang terperangkap, diizinkan menuju tempat aman.
Kedutaan besar Uni Eropa dan Swedia di Yangon mengecam putusan pada Jumat itu dan mendesak pihak berwenang untuk meninjau kembali keputusan tersebut.
EU menyatakan keputusan itu adalah "berita mengkhawatirkan bagi masyarakat madani di Myanmar".
"Unjuk rasa untuk perdamaian dan menyelamatkan orang terperangkap bentrokan kekerasan tidak bdipidanakan," kata pernyataan EU.
Menurut kelompok kebebasan berbicara Myanmar, Athan, yang berarti "suara" dalam bahasa Burma, 44 wartawan dan 142 pegiat menghadapi persidangan sejak 2016, ketika peraih Nobel Suu Kyi berkuasa dalam pemerintahan madani pertama Myanmar sesudah lebih dari dari 50 tahun.
Pegiat menyatakan pemerintahnya gagal menggunakan mayoritas besar parlementernya untuk menghapus undang-undang masa penjajahan, yang digunakan untuk menghambat perbedaan pendapat, sementara memperketat pembatasan pada kelompok pegiat.
Editor: Boyke Soekapdjo
Pewarta: Antara
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2018