Yogyakarta (ANTARA News) - Strategi untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia perlu didukung dengan mengangkat sumber pangan lokal untuk mengatasi kekurangan pangan, terutama di daerah rawan pangan. "Langkah paling bagus untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah dengan mengembangkan sumber pangan lokal selain beras," kata pakar pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Mochammad Maksum MSc di Yogyakarta, Senin. Ia mengatakan, daerah rawan pangan sebenarnya memiliki potensi lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat, tetapi potensi tersebut terlanjur tergusur oleh budaya beras. "Faktanya, banyak balita kurang gizi di lahan singkong, seharusnya singkong pun bisa dimakan," katanya. Menurut dia, rakyat sudah dibuat tergantung pada beras sebagai makanan pokok utama, sehingga kalau tidak bisa makan beras terasa tidak punya apa-apa. Ia mencontohkan, masyarakat Irian dan Sulawesi Utara yang tadinya makan sagu, sekarang menjadi merasa gengsi kalau makan sagu, karena sudah ada beras. Ketika mereka harus makan beras, maka mereka membutuhkan uang yang relatif banyak dari usaha pertanian nonberas yang dilakukannya. Kalaupun memiliki usaha pertanian beras, maka akan menghabiskan lahan yang luas, sehingga tidak bisa intensif kalau lahan yang dimiliki adalah lahan marjinal. "Kalau makan sagu, tinggal tebang sagu alam dan sekali tebang cukup untuk tiga bulan. Sedangkan singkong dan jagung bisa menggunakan lahan marjinal," katanya. Ia mengatakan, budaya pangan masyarakat sudah kecanduan beras juga menjadikan masalah lahan sebagai faktor penyebab rawan pangan. Menurut dia, semangat diversifikasi harus dimulai lagi sehingga tidak makin terjebak pada kurangnya lahan pertanian dan upaya penebangan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. "Harus ada upaya sosial yang serius untuk merehabilitasi ketahanan pangan di Indonesia," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007