....Jadi terima kasih Pak Agus Ketua KPK, kita berharap parpol bisa jadi ranah yang baru dan tidak dikuasai oleh para pemilik modal karena praktik-praktik di partai sekarang sudah tercemari dengan non-politik."
Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengakui masih mengalami kesulitan untuk membiayai aktivitas partai politik.
"Sumber pendanaan partai itu dari iuran anggota, susu tante atau sumbangan darurat tanpa tekanan susu tante tapi pada praktiknya suka pakai tekanan dan yang ketiga dari negara yaitu dari APBN dan ini jauh dari kecukupan partai," kata Bamsoet dalam acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2018 di Jakarta, Selasa.
KPK mengadakan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) dalam rangka Hakordia 2018 dengan tema Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik. Acara berlangsung pada 4-5 Desember 2018 dengan sejumlah acara seperti seminar, lelang barang rampasan negara dan gratifikasi dan pameran antikorupsi bersama dengan kementerian, lembaga, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil.
"Kenapa praktik-praktik korupsi, kolusi terjadi karena setiap partai politik banyak agenda, munas, rapimnas, rakernas semua membutuhkan biaya dan sumber-sumber itu biasanya dibebankan kepada kader-kader yang duduk di parlemen, di pemerintahan. Kalau kader-kader itu mau tidak mau mengikuti, kalau tidak dia akan ada sanksi partai," tambah Bambsoet.
Atas kebutuhan pendanaan tersebut, maka parpol pun bisa menjadi lahan bisnis baru karena sistem pemilihan kepala daerah langsung membutuhkan biaya besar.
"Dengan ambang batas yang diatur memerlukan rekomendasi sebagai syarat seseorang bisa maju. Kemarin itu untuk bupati walikota paling murah Rp5 miliar, untuk gubernur bisa ratusan miliar bahkan bisa Rp200-300 miliar, paling murah Rp50 miliar, tidak heran sekarang orang berlomba-lomba ikut parpol karena (modal) akan balik seketika ketika ada pilkada serentak tahun mendatang. Bayangkan 514 pilkada, setengahnya deh minta partai kita untuk rekomendasi pasang tarif Rp10 miliar," jelas Bamsoet.
Sedangkan, satu partai untuk eksis di parlemen paling tidak memerlukan 30 kursi dengan modal Rp50 miliar untuk menghadapi pilkada tahun selanjutnya sudah balik modal.
"Sekarang ini masalah kita NPWP, nomor piro uangnya piro, jadi sulit kita mengharapkan kader partai yang dari partai. Saya dan Golkar mati-matian mendidik kader partai puluhan tahun tapi kita berhadapan di publik dengan saingannya keteteran dan kalah dengan pendatang baru yang dari kalangan pengusaha mapan," tambah Bambsoet.
Para pengusaha, artis maupun anak-anak muda yang baru tersebut yang akhirnya tampil di parlemen padahal parlemen adalah etalase dari partai politik.
"Saya berharap praktek ini bisa kita akhiri sehingga yang tampil di parlemen adalah kader-kader partai yang bagus sehingga dia menjadi etalase partai politik, cerminan parlemen Indonesia. Jadi terima kasih Pak Agus Ketua KPK, kita berharap parpol bisa jadi ranah yang baru dan tidak dikuasai oleh para pemilik modal karena praktik-praktik di partai sekarang sudah tercemari dengan non-politik," ungkap Bamsoet.
Sedangkan Ketua KPK Agus Rahardjo mengakui bahwa tidak terjadi kaderisasi dalam parpol.
"Kita dapat masukan terutama dari yang berdarah-darah teman-teman kader asli kemudian disalip oleh orang yang baru maju tapi punya uang. Ini yang kadang-kadang mereka 'saya sudah berdarah-darah memperjuangkan partai tapi kemudian ada orang yang punya uang menyalip mereka. Contoh lain terkait kaderisasi, banyak sekali asalkan bisa menyediakan kantor untuk partai dipilih menjadi ketua partai tertentu," kata Agus.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018